Selasa, 29 Maret 2016

PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM INDONESIA
(Rosalia Ernawati, 26215271)

1.      MASALAH SDA STRUKTUR PENGUASAAN SDA
Sumber daya alam mempunyai peranan cukup penting bagi kehidupan manusia. Sumberdaya alam bagi berbagai komunitas di Indonesia bukan hanya memiliki nilai ekonomi tetapi juga makna sosial, budaya dan politik. Sumberdaya alam berperan penting dalam pembentukan peradaban pada kehidupan manusia, sehingga setiap budaya dan etnis memiliki konsepsi dan pandangan dunia tersendiri tentang penguasaan dan pengelolaan dari sumberdaya alam. Konsepsi kosmologi dan pandangan dunia tentang sumberdaya alam terutama tanah pada beberapa etnis di Indonesia memiliki persamaan, yakni tanah sebagai entitats yang integral atau sebagai suatu ekosistem.1 Secara umum tata kelola sumber daya alam yang dilakukan oleh suatu komunitas adat mengenal adanya beragam status penguasaan dan pemanfaatannya. Bentuk dan status penguasaan sumber daya alam dapat dibedakan atas empat kelompok :
(a)    milik umum (open accses)
(b)   milik negara (state)
(c)    milik pribadi atau perorangan (private)
(d)   milik bersama (communal).
Masing-masing bentuk dalam penguasaan sumber daya alam tersebut memiliki karakteristik tersendiri. Pada sumber daya alam milik bersama, status kepemilikannya diambangkan, tiap orang bebas dan terbuka untuk memperoleh manfaat. Berbeda dengan sumber daya alam milik bersama, maka sumber daya milik pribadi merupakan sumber daya yang secara tegas dimiliki oleh orang-perorangan  dan orang lain tidak dapat menguasai dan mengaturnya. Sedangkan sumber daya milik kelompok/komunitas, adalah sumberdaya yang dikuasai oleh suatu kelompok/komunitas, karenanya orang atau kelompok lain tidak dapat mengambil manfaat sumber daya tersebut tanpa izin kelompok yang menguasainya. Pada sumber daya milik negara merupakan sumber daya yang secara tegas dikuasai dan dikontrol oleh negara.
Dalam prakteknya keempat bentuk penguasaan sumber daya tersebut, sering terdapat tumpang tindih dan bervariasi, karena bentuk penguasaannya terkait dengan sistem sosial dan budaya serta pandangan dunia di mana sumber daya itu berada. Menurut pandangan dunia beberapa etnis di Indonesia, tidak selamanya sumberdaya milik umum tidak ada pemiliknya, sumber daya jenis ini dikuasai oleh suatu komunitas adat atau kelompok etnik. Menurut perspektif hukum positif, sumber daya milik umum tidak dimiliki oleh siapapun, termasuk oleh komunitas adat. Sumber daya milik umum seperti sungai, pantai, hutan dan pengembalaan ternak, setiap orang dapat memperoleh manfaat. Mengingat setiap orang dapat memperoleh akses yang sama, maka sumber daya milik umum dieksploitasi  dengan cara berlebihan.4 Pemanfaatan sumberdaya milik umum secara ekspolitatif bermuara pada terjadinya tragedy of common. Tragedy of Common dewasa ini bukan hanya terbatas pada padang pengembalian seperti yang dikemukakan oleh Hardin, tetapi hampir pada semua sumberdaya alam: hutan, laut, sungai, dan air. Secara filofis terjadinya tragedy of common  terkait dengan paradigma yang dipakai dalam  memandang sumberdaya alam. Cara pandang yang dominan dan menjadi mainstream utama dalam pengelolaan sumberdaya alam adalah paradigma antroposentrisme, positivisme dan mekanistis. 5 Paradigma ini  mewakili dan merupakan kelanjutan dari ekonomi liberal atau Neo-Liberal, karena itu dikategorikan sebagai pandangan Liberalis atau Neo-Liberalis. Mengingat dan menelaah dari  peradigma yang mekanistis-reduksionis terbukti menimbulkan tragedi, maka sebagai antitesanya berkembang paradigma holistik, sistematik atau paradigma ekologi. Paradigma demikian dipraktekan dan menjadi bagian hidup dari kelembagaan lokal pada berbagai komunitas yang ada di Indonesia. Praktek pengelolaan sumber daya alam pada berbagai komunitas Desa hutan dan masyarakat sekitar hutan  di luar Jawa dicirikan oleh  relasi yang organis, dinamis dan kompleks, alam tidak dilihat sebagai  relasi sebab akibat yang linear, tetapi dilihat sebagai sebuah jaringan yang kompleks. Keberadaan manusia dan lingkungan diluar manusia diletakan dalam kerangka relasi, keterkaitan dan konteks. Semua sistem kehidupan- organisme hidup, ekosistem dan sistem sosial dipandang sebagai keseluruhan yang terkait satu sama lain dan tidak bisa direduksi kepada bagian-bagian yang lebih kecil. Cara pandang sistematik tentang sumberdaya alam ditemukan pada kelembagaan yang hidup dalam suatu komunitas yang biasanya berbentuk kelembagaan lokal.
2.      KEBIJAKAN SDA STRUKTUR PENGUASAAN SDA
(1)   Mengelola sumber daya alam dan memelihara daya dukungnya agar bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan rakyat dari generasi ke generasi.
(2)   Meningkatkan pemanfaatan potensi sumber daya alam dan lingkungan hidup dengan melakukan konservasi, rehabilitasi dan penghematan penggunaan, dengan menerapkan teknologi ramah lingkungan.
(3)   Menerapkan indikator-indikator yang memungkinkan pelestarian kemampuan keterbaharuan dalam pengelolaan sumber daya alam yang dapat diperbaharui untuk mencegah kerusakan yang tidak dapat balik. Mendelegasikan secara bertahap wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam secara
(4)   Selektif dan pemeliharaan lingkungan hidup sehingga kualitas ekosistem tetap terjaga, yang diatur dengan undang-undang.
(5)   Mendayagunakan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat lokal serta penataan ruang, yang pengusahaannya diatur dengan undang-undang.
3.      DOMINASI SDA DI INDONESIA
Salah satu bentuk kelembagaan lokal yang masih hidup dan fungsional dalam kehidupan komunitas dan masyarakat Desa Simerpara adalah kelembagaan runggu. 16 Kelembagaan runggu menjadi sentral dari kehidupan sosial budaya dan ekonomi  komunitas. Kelembagaan runggu bukan hanya merupakan tata nilai yang bersifat normatif tetapi juga operatif berkenaan pengaturan tanah dan status tanah, penguasaan dan juga pemanfaatan sumberdaya alamn. Sesuai dengan kelembagaan runggu status tanah pada komunitas Desa Simerpara yang didominasi oleh klan Manik (sub klan Pakpak Simsim) merupakan hak ulayat dari marga Manik. Menurut aturan kelembagaan adat lokal, unit teritorial terkecil disebut kuta. Kuta dipimpin oleh seorang kappung dan pimpinan beberapa kuta disebut kepala nagari. Dalam memilih pemimpin, faktor adat dan mistik sering menjadi pertimbangan cukup penting. Sejalan dengan homogenisasi pemerintahan Desa yang dilaksanakan pada rezim Orde Baru sejak tahun 1974, dewasa ini kelembagaan adat dalam pemerintahan yang termarginalkan, sebaliknya  kelembagaan formal (kepala Desa) cukup dominan.
Undang-Undang No. 22 tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah yang memungkinkan tiap daerah dan komunitas adat dapat membentuk pemerintahan Desa sesuai dengan struktur sosial adatnya belum dapat mereposisi eksistensi kuta struktur formal pemerintahan Desa. Aturan yang berlaku dalam penguasaan dan sekaligus pemanfaatan sumberdaya alam di pada komunitas klan Manik sepenuhnya tunduk pada kelembagaan dan dan hukum adat. Penguasaan dan juga pemanfaatan sumber daya alam ditentukan dalam kelembagaan lokal yang disebut runggu. Penguasaan dan pemanfaatan suatu areal tanah tidak boleh bertentangan dengan hak ulayat dan hukum adat, dan tanah tidak dapat diperjual belikan. Pemilihan areal baik untuk pemukiman maupun untuk areal pertanian (ladang dan hutang) ditetapkan dalam suatu musyawarah adat. Penduduk hampir tidak mengenal pemilikan secara individual terhadap suatu wilayah atau sebidang tanah. Pengetahuan penduduk komu-nitas Desa Simerpara berhubungan erat dengan jenis mata pencaharian mereka yakni pertanian ladang.
Mereka mengetahui permulaan musim hujan dan musim kemarau, jenis-jenis kayu yang baik untuk bahan bangunan, tumbuhan hutan yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan pangan, obat- obatan, kerajinan dan untuk keperluan lain. Musim hujan di Desa Simerpara di ditandai dengan banyaknya gelombang embun/awan (gondem) yang bermunculan di udara, sedangkan musim panas dilihat dari munculnya bintang perlambok (bintang besar menyala-nyala yang muncul menjelang pagi). Mereka mengetahui saat yang paling tepat membuka hutan (biasanya dilakukan pada sekitar bulan empat (April). Pada bulan tersebut petani melakukan babad hutan, membersihkan ladang  dan menebang pohon kecil. Pembukaan hutan pada bulan keempat karena merupakan permulaan musim kemarau sehingga semak dan pohon yang ditebang cepat kering dan bisa segera dibakar.
Setelah pembersihan dan pembakaran selesai dilanjutkan dengan menanam padi huma-ladang (biasanya jatuh pada bulan Juni bersamaan dengan permulaan masuknya musim hujan). Teknologi yang dimanfaatkan sehari-hari oleh masyarakat Simerpara terdiri dari alat-alat produktif yang terbuat dari paduan besi dan kayu seperti cangkul, kapak, dan golok sebagai alat utama dalam menebang  kayu dan membuka hutan.  Teknologi yang dimanfaatkan sehari-hari oleh masyarakat terdiri dari alat-alat yang terbuat dari paduan besi dan kayu seperti cangkul, kapak, dan golok yang digunakan untuk menebang  kayu dan membuka hutan. Ada pula alat-alat terbuat dari kayu yang dimanfaatkan untuk mempercepat kerja di ladang seperti untuk membuat lubang tanaman dipergunakan tongkat panjang yang ujungnya diruncingkan, untuk menumbuk padi atau menumbuk bahan pembuat tikar dipergunakan lesung dan lalu (alu) yang juga terbuat dari kayu. Alat teknologi lainnya yang mereka pergunakan adalah tampa (enderu) yang dipakai sebagai alat menampi padi, yang terbuat dari bilahan bambu berbentuk bujur sangkar berukuran 0,75 m x 0,75 m; belagen (tikar) sebagai alas tidur/duduk, atau alat-alat lain yang dimanfaatkan sebagai wadah seperti baka (bakul) dari bengkoang (sejenis pandan) dan selaping juga bakul yang lebih besar. Flora yang yang telah lama didomestikasi oleh penduduk Desa Simerpara antara lain: kemenyan, damar, kelapa, padi ladang, pete, durian, berbagai jenis umbi-umbian, pandan, tanaman rempah-obat-obatan, kayu manis, kayu alim, dan maduamas (sitelu uruk). Hewan yang telah lama didomistikasi oleh penduduk antara lain: babi, anjing, kerbau, berbagai varitas unggas dan ikan sungai. Babi dan anjing merupakan bagian penting dalam kehidupan penduduk.
 
KELEMBAGAAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
Pandangan dunia komunitas yang hidup di Desa Simerpara tentang penguasaan sumberdaya alam, landasan filosofisnya. Pengelolaan Sumber daya Alam Berbasis Kelembagaan Lokal (Hidayat) mencerminkan bangunan struktur sosial etnis Batak pada umumnya. Sebagai bagian dari sub klan Pakpak, konsepsi komunitas klan Manik tentang penguasaan sumberdaya alam berhubungan dengan penguasaan teritorialnya, seperti tercermin dari istilah: ganop-ganop banua martano rura (setiap wilayah banua memiliki wilayah darat dan air yang menjadi teritorialnya). Berlaku aturan bahwa sumberdaya yang ada di wilayah teritorial  suatu huta dan banua dikuasai oleh komunitas yang hidup di dalamnya, terlepas apakah sumberdaya tersebut sudah dikelola (tenure) atau baru sebatas klaim penguasaan wilayah teritorial sesuai hukum adat. Kelembagaan lokal ganop-ganop banua martano rura menunjukkan bahwa sebuah banua dan huta harus ditopang oleh sumberdaya air, kawasan hutan dan tempat pengembalaan. Sumber air diperlukan untuk kebutuhan tepian, mengairi persawahan, memelihara ikan dan keperluan hidup lainnya. Lahan pengembalaan biasanya berada di luar areal pemukiman penduduk, seperti di lereng bukit.
Kawasan hutan diperlukan untuk dapat mendukung penyelenggaraan kehidupan ekonomi penduduk, karena sebagian besar penduduk hidup dari bercocok tanam baik di lahan kering maupun persawahan.  Pembukaan hutan untuk aktivitas pertanian biasanya dimulai dengan membuka ladang, kemudian dibiarkan menjadi blukar atau ditanami lebih lanjut dengan tanaman keras seperti kopi atau karet. Masyarakat lokal mengenal zonasasi hutan atau kawasan hutan, untuk yang terakhir terlarang untuk aktivitas pertanian, berburu maupun meramu hasil- hasil hutan. Keberadaan hutan terlarang dilegitimasi oleh adanya tabu dan unsur- unsur kepercayaan (trust). Akses warga untuk dapat memanfaatkan sumberdaya yang berada pada banua dan huta pada dasarnya terkait dengan struktur sosial politik di mana huta itu berada.  Secara umum terdapat konsepsi bahwa tiap warga dari komunitas etik Pakpak memiliki hak untuk memanfaatkan banua dan huta untuk menghidupi keluarganya, baik melalui usaha pengumpulan, perburuan maupun pembukaan lahan pertanian.
Lahan pertanian yang dibuka menjadi wilayah “tenure” bagi keluarga yang membukanya. Wilayah yang telah dikuasai oleh keluarga pembuka hutan berubah statusnya menjadi “private property right.” Orang dari luar komunitas huta dan banua lain dapat mengakses “private property right” setelah mendapat izin dari pemegang otoritas. Ini bisa dilakukan setelah mengikuti prosedur, syarat dan ketentuan adat, serta tidak boleh melakukan transaksi yang dapat menyebabkan perpindahan hak kepemilikan kepada orang dan komunitas lain. Bentuk kesatuan hidup setempat dan ketetanggaan dalam konsepsi Batak dibedakan atas huta perserahan dan huta pagaran. Huta perserahan atau disebut warga huta dibangun kemudian. Huta pagaran merupakan huta baru yang didirikan oleh warga kampung lama karena huta induk sudah terlalu padat dan berkurangnya sumber daya alam yang tersedia. Huta pagaran merupakan satelit bagi huta induk. Bentuk kesatuan hidup yang dibangun atas huta perserahan dan huta pagaran selain menggambarkan jaringan sosial antar penduduk juga berpengaruh terhadap tata kelola politik dan ekonomi sebuah huta.  Dalam konsepsi etnis Batak huta perserahan dan huta pagaran bukan menggambarkan tata relasi sosial yang berdimensi horizontal, tetapi  merupakan ekpresi tata kelola politik yang hirarkis. Kelembagaan penguasaan dan pemanfaatan sumber daya air yang yang dikonsepsikan oleh etnik Pak-Pak didasarkan atas dan merupakan paduan antara prinsip common property (milik bersama) dan milik umum (open accses).
Pada satu sisi air sungai dan isinya dianggap sebagai sumberdaya yang terbuka, tidak dapat dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang, tetapi dikuasai dan dimanfaatkan secara bersama-sama. Pada sisi lain, karena air sungai mengalir dan (Jurnal Sejarah CITRA LEKHA, Vol.  XV, No. 1 Februari 2011: 19-32) melampaui wilayah teritorial huta, maka penduduk lokal menetapkan bahwa air sungai yang melintasi wilayah teritorialnya menjadi milik umum. Karena itu sepanjang aliran sungai terdapat bagian-bagian yang ditetapkan ada yang menjadi wilayah milik bersama dan ada wilayah milik umum. Kelembagaan masyarakat lokal dalam penguasaan sumberdaya air secara demikian didasarkan kenyataan karena air yang mengalir secara alamiah dan relatif permanen dapat menjadi penentu dalam mendefinisikan suatu hamparan lahan sebagai milik bersama atau lahan yang dapat dikuasi secara pribadi. Jika sehamparan lahan kering di pinggir sungai yang dianggap sebagai milik pribadi kemudian karena perpindahan aliran sungai maka lahan tersebut berubah menjadi milik umum. Artinya lahan tersebut berubah status dari penguasaan pribadi menjadi tanpa penguasaan (open accses). Sebalikinya jika  di atas aliran sungai terbentuk  suatu delta atau aliran suangai berpindah sehingga ada bagian yang berubah menjadi daratan maka area tersebut bisa diklaim sebagai sumberdaya milik pribadi. Sungai sebagai sumberdaya alam memiliki peran peran penting dalam kehidupan etnis Pak-Pak. Sungai dan sumberdaya alam yang ada di dalamnya berfungsi sebagai penopang kehidupan ekonomi, sosial, kesehatan, adat istiadat dan agama. Peran penting sungai dan sumberdaya air dalam masyarakat Pakpak terlihat dalam pemilihan lokasi yang dijadikan pemukiman penduduk, biasanya tidak terlalu jauh dari sungai dan sumberdaya air. Klan Manik yang bertempat tinggal Desa Simerpara, akar sejarahnya mengindikasikan demikian kuatnya keterikatan  dengan kehidupan ekonomi masyarakat lokal dengan sumberdaya air. Sungai yang berada di wilayah teritorial klan manik terdapat lubuk larangan, yakni suatu penetapan daerah aliran sungai tertentu menjadi area terlarang bagi setiap orang untuk memperoleh dan sekaligus dapat memanfaatkan sumberdaya air  (ikan) sebelum tiba waktu panen yang telah disepakati. Dalam lubuk larangan terdapat ketentuan lokal yang disepakati bersama untuk tidak mengganggu (menangkap) biota ikan di area sungai tertentu dalam jangka waktu tertentu (1-2 tahun) dalam rangka pemanfaatan daerah aliran sungai secara optimal. Begitu juga terdapat kesepakatan bersama kapan penangkapan ikan dapat dilakukan  untuk kepentingan apa dan siapa.

Referensi :
http://ejournal.undip.ac.id/index.php/cilekha/article/download/3412/3067

Tidak ada komentar: