PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM INDONESIA
(Rosalia Ernawati, 26215271)
1. MASALAH SDA STRUKTUR PENGUASAAN SDA
Sumber
daya alam mempunyai peranan cukup penting bagi kehidupan manusia. Sumberdaya
alam bagi berbagai komunitas di Indonesia bukan hanya memiliki nilai ekonomi
tetapi juga makna sosial, budaya dan politik. Sumberdaya alam berperan penting
dalam pembentukan peradaban pada kehidupan manusia, sehingga setiap budaya dan
etnis memiliki konsepsi dan pandangan dunia tersendiri tentang penguasaan dan
pengelolaan dari sumberdaya alam. Konsepsi kosmologi dan pandangan dunia
tentang sumberdaya alam terutama tanah pada beberapa etnis di Indonesia
memiliki persamaan, yakni tanah sebagai entitats yang integral atau sebagai
suatu ekosistem.1 Secara umum tata kelola sumber daya alam yang dilakukan oleh
suatu komunitas adat mengenal adanya beragam status penguasaan dan
pemanfaatannya. Bentuk dan status penguasaan sumber daya alam dapat dibedakan
atas empat kelompok :
(a) milik
umum (open accses)
(b) milik
negara (state)
(c) milik
pribadi atau perorangan (private)
(d) milik
bersama (communal).
Masing-masing
bentuk dalam penguasaan sumber daya alam tersebut memiliki karakteristik
tersendiri. Pada sumber daya alam milik bersama, status kepemilikannya
diambangkan, tiap orang bebas dan terbuka untuk memperoleh manfaat. Berbeda
dengan sumber daya alam milik bersama, maka sumber daya milik pribadi merupakan
sumber daya yang secara tegas dimiliki oleh orang-perorangan dan orang lain tidak dapat menguasai dan
mengaturnya. Sedangkan sumber daya milik kelompok/komunitas, adalah sumberdaya
yang dikuasai oleh suatu kelompok/komunitas, karenanya orang atau kelompok lain
tidak dapat mengambil manfaat sumber daya tersebut tanpa izin kelompok yang
menguasainya. Pada sumber daya milik negara merupakan sumber daya yang secara
tegas dikuasai dan dikontrol oleh negara.
Dalam
prakteknya keempat bentuk penguasaan sumber daya tersebut, sering terdapat
tumpang tindih dan bervariasi, karena bentuk penguasaannya terkait dengan
sistem sosial dan budaya serta pandangan dunia di mana sumber daya itu berada.
Menurut pandangan dunia beberapa etnis di Indonesia, tidak selamanya sumberdaya
milik umum tidak ada pemiliknya, sumber daya jenis ini dikuasai oleh suatu
komunitas adat atau kelompok etnik. Menurut perspektif hukum positif, sumber daya
milik umum tidak dimiliki oleh siapapun, termasuk oleh komunitas adat. Sumber daya
milik umum seperti sungai, pantai, hutan dan pengembalaan ternak, setiap orang dapat
memperoleh manfaat. Mengingat setiap orang dapat memperoleh akses yang sama,
maka sumber daya milik umum dieksploitasi
dengan cara berlebihan.4 Pemanfaatan sumberdaya milik umum secara
ekspolitatif bermuara pada terjadinya tragedy
of common. Tragedy of Common
dewasa ini bukan hanya terbatas pada padang pengembalian seperti yang
dikemukakan oleh Hardin, tetapi
hampir pada semua sumberdaya alam: hutan, laut, sungai, dan air. Secara filofis
terjadinya tragedy of common terkait dengan paradigma yang dipakai
dalam memandang sumberdaya alam. Cara
pandang yang dominan dan menjadi mainstream
utama dalam pengelolaan sumberdaya alam adalah paradigma antroposentrisme, positivisme
dan mekanistis. 5 Paradigma ini mewakili
dan merupakan kelanjutan dari ekonomi liberal atau Neo-Liberal, karena itu dikategorikan sebagai pandangan Liberalis
atau Neo-Liberalis. Mengingat dan menelaah dari
peradigma yang mekanistis-reduksionis terbukti menimbulkan tragedi, maka
sebagai antitesanya berkembang paradigma holistik, sistematik atau paradigma
ekologi. Paradigma demikian dipraktekan dan menjadi bagian hidup dari kelembagaan
lokal pada berbagai komunitas yang ada di Indonesia. Praktek pengelolaan sumber
daya alam pada berbagai komunitas Desa hutan dan masyarakat sekitar hutan di luar Jawa dicirikan oleh relasi yang organis, dinamis dan kompleks,
alam tidak dilihat sebagai relasi sebab
akibat yang linear, tetapi dilihat sebagai sebuah jaringan yang kompleks.
Keberadaan manusia dan lingkungan diluar manusia diletakan dalam kerangka
relasi, keterkaitan dan konteks. Semua sistem kehidupan- organisme hidup,
ekosistem dan sistem sosial dipandang sebagai keseluruhan yang terkait satu
sama lain dan tidak bisa direduksi kepada bagian-bagian yang lebih kecil. Cara
pandang sistematik tentang sumberdaya alam ditemukan pada kelembagaan yang
hidup dalam suatu komunitas yang biasanya berbentuk kelembagaan lokal.
2. KEBIJAKAN SDA STRUKTUR PENGUASAAN
SDA
(1) Mengelola
sumber daya alam dan memelihara daya dukungnya agar bermanfaat bagi peningkatan
kesejahteraan rakyat dari generasi ke generasi.
(2) Meningkatkan
pemanfaatan potensi sumber daya alam dan lingkungan hidup dengan melakukan
konservasi, rehabilitasi dan penghematan penggunaan, dengan menerapkan
teknologi ramah lingkungan.
(3) Menerapkan
indikator-indikator yang memungkinkan pelestarian kemampuan keterbaharuan dalam
pengelolaan sumber daya alam yang dapat diperbaharui untuk mencegah kerusakan
yang tidak dapat balik. Mendelegasikan secara bertahap wewenang pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah dalam pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam
secara
(4) Selektif
dan pemeliharaan lingkungan hidup sehingga kualitas ekosistem tetap terjaga,
yang diatur dengan undang-undang.
(5) Mendayagunakan
sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan memperhatikan
kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang
berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat lokal serta penataan
ruang, yang pengusahaannya diatur dengan undang-undang.
3.
DOMINASI SDA DI
INDONESIA
Salah satu
bentuk kelembagaan lokal yang masih hidup dan fungsional dalam kehidupan
komunitas dan masyarakat Desa Simerpara adalah kelembagaan runggu. 16
Kelembagaan runggu menjadi sentral dari kehidupan sosial budaya dan
ekonomi komunitas. Kelembagaan runggu
bukan hanya merupakan tata nilai yang bersifat normatif tetapi juga operatif
berkenaan pengaturan tanah dan status tanah, penguasaan dan juga pemanfaatan
sumberdaya alamn. Sesuai dengan kelembagaan runggu status tanah pada komunitas
Desa Simerpara yang didominasi oleh
klan Manik (sub klan Pakpak Simsim) merupakan hak ulayat dari marga Manik.
Menurut aturan kelembagaan adat lokal, unit teritorial terkecil disebut kuta.
Kuta dipimpin oleh seorang kappung dan pimpinan beberapa kuta disebut kepala
nagari. Dalam memilih pemimpin, faktor adat dan mistik sering menjadi pertimbangan
cukup penting. Sejalan dengan homogenisasi pemerintahan Desa yang dilaksanakan
pada rezim Orde Baru sejak tahun 1974,
dewasa ini kelembagaan adat dalam pemerintahan yang termarginalkan,
sebaliknya kelembagaan formal (kepala
Desa) cukup dominan.
Undang-Undang No. 22 tahun 1999 Tentang Otonomi
Daerah
yang memungkinkan tiap daerah dan komunitas adat dapat membentuk pemerintahan
Desa sesuai dengan struktur sosial adatnya belum dapat mereposisi eksistensi
kuta struktur formal pemerintahan Desa. Aturan yang berlaku dalam penguasaan
dan sekaligus pemanfaatan sumberdaya alam di pada komunitas klan Manik
sepenuhnya tunduk pada kelembagaan dan dan hukum adat. Penguasaan dan juga
pemanfaatan sumber daya alam ditentukan dalam kelembagaan lokal yang disebut runggu. Penguasaan dan pemanfaatan
suatu areal tanah tidak boleh bertentangan dengan hak ulayat dan hukum adat,
dan tanah tidak dapat diperjual belikan. Pemilihan areal baik untuk pemukiman
maupun untuk areal pertanian (ladang dan hutang) ditetapkan dalam suatu
musyawarah adat. Penduduk hampir tidak mengenal pemilikan secara individual
terhadap suatu wilayah atau sebidang tanah. Pengetahuan penduduk komu-nitas
Desa Simerpara berhubungan erat dengan jenis mata pencaharian mereka yakni
pertanian ladang.
Mereka
mengetahui permulaan musim hujan dan musim kemarau, jenis-jenis kayu yang baik
untuk bahan bangunan, tumbuhan hutan yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan
pangan, obat- obatan, kerajinan dan untuk keperluan lain. Musim hujan di Desa
Simerpara di ditandai dengan banyaknya gelombang embun/awan (gondem) yang
bermunculan di udara, sedangkan musim panas dilihat dari munculnya bintang
perlambok (bintang besar menyala-nyala yang muncul menjelang pagi). Mereka
mengetahui saat yang paling tepat membuka hutan (biasanya dilakukan pada
sekitar bulan empat (April). Pada bulan tersebut petani melakukan babad hutan,
membersihkan ladang dan menebang pohon
kecil. Pembukaan hutan pada bulan keempat karena merupakan permulaan musim
kemarau sehingga semak dan pohon yang ditebang cepat kering dan bisa segera
dibakar.
Setelah pembersihan
dan pembakaran selesai dilanjutkan dengan menanam padi huma-ladang (biasanya
jatuh pada bulan Juni bersamaan dengan permulaan masuknya musim hujan). Teknologi
yang dimanfaatkan sehari-hari oleh masyarakat Simerpara terdiri dari alat-alat
produktif yang terbuat dari paduan besi dan kayu seperti cangkul, kapak, dan
golok sebagai alat utama dalam menebang
kayu dan membuka hutan. Teknologi
yang dimanfaatkan sehari-hari oleh masyarakat terdiri dari alat-alat yang
terbuat dari paduan besi dan kayu seperti cangkul, kapak, dan golok yang
digunakan untuk menebang kayu dan
membuka hutan. Ada pula alat-alat terbuat dari kayu yang dimanfaatkan untuk
mempercepat kerja di ladang seperti untuk membuat lubang tanaman dipergunakan
tongkat panjang yang ujungnya diruncingkan, untuk menumbuk padi atau menumbuk
bahan pembuat tikar dipergunakan lesung dan lalu (alu) yang juga terbuat dari
kayu. Alat teknologi lainnya yang mereka pergunakan adalah tampa (enderu) yang
dipakai sebagai alat menampi padi, yang terbuat dari bilahan bambu berbentuk
bujur sangkar berukuran 0,75 m x 0,75 m; belagen (tikar) sebagai alas
tidur/duduk, atau alat-alat lain yang dimanfaatkan sebagai wadah seperti baka
(bakul) dari bengkoang (sejenis pandan) dan selaping juga bakul yang lebih besar.
Flora yang yang telah lama didomestikasi oleh penduduk Desa Simerpara antara
lain: kemenyan, damar, kelapa, padi ladang, pete, durian, berbagai jenis
umbi-umbian, pandan, tanaman rempah-obat-obatan, kayu manis, kayu alim, dan
maduamas (sitelu uruk). Hewan yang telah lama didomistikasi oleh penduduk
antara lain: babi, anjing, kerbau, berbagai varitas unggas dan ikan sungai.
Babi dan anjing merupakan bagian penting dalam kehidupan penduduk.
KELEMBAGAAN
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
Pandangan dunia
komunitas yang hidup di Desa Simerpara tentang penguasaan sumberdaya alam,
landasan filosofisnya. Pengelolaan Sumber daya Alam Berbasis Kelembagaan Lokal
(Hidayat) mencerminkan bangunan struktur sosial etnis Batak pada umumnya.
Sebagai bagian dari sub klan Pakpak, konsepsi komunitas klan Manik tentang
penguasaan sumberdaya alam berhubungan dengan penguasaan teritorialnya, seperti
tercermin dari istilah: ganop-ganop banua martano rura (setiap wilayah banua
memiliki wilayah darat dan air yang menjadi teritorialnya). Berlaku aturan
bahwa sumberdaya yang ada di wilayah teritorial
suatu huta dan banua dikuasai oleh komunitas yang hidup di dalamnya,
terlepas apakah sumberdaya tersebut sudah dikelola (tenure) atau baru sebatas klaim penguasaan wilayah teritorial sesuai
hukum adat. Kelembagaan lokal ganop-ganop banua martano rura menunjukkan bahwa
sebuah banua dan huta harus ditopang oleh sumberdaya air, kawasan hutan dan
tempat pengembalaan. Sumber air diperlukan untuk kebutuhan tepian, mengairi
persawahan, memelihara ikan dan keperluan hidup lainnya. Lahan pengembalaan
biasanya berada di luar areal pemukiman penduduk, seperti di lereng bukit.
Kawasan hutan
diperlukan untuk dapat mendukung penyelenggaraan kehidupan ekonomi penduduk,
karena sebagian besar penduduk hidup dari bercocok tanam baik di lahan kering
maupun persawahan. Pembukaan hutan untuk
aktivitas pertanian biasanya dimulai dengan membuka ladang, kemudian dibiarkan
menjadi blukar atau ditanami lebih lanjut dengan tanaman keras seperti kopi
atau karet. Masyarakat lokal mengenal zonasasi hutan atau kawasan hutan, untuk
yang terakhir terlarang untuk aktivitas pertanian, berburu maupun meramu hasil-
hasil hutan. Keberadaan hutan terlarang dilegitimasi oleh adanya tabu dan
unsur- unsur kepercayaan (trust). Akses warga untuk dapat memanfaatkan
sumberdaya yang berada pada banua dan huta pada dasarnya terkait dengan
struktur sosial politik di mana huta itu berada. Secara umum terdapat konsepsi bahwa tiap
warga dari komunitas etik Pakpak memiliki hak untuk memanfaatkan banua dan huta
untuk menghidupi keluarganya, baik melalui usaha pengumpulan, perburuan maupun
pembukaan lahan pertanian.
Lahan pertanian
yang dibuka menjadi wilayah “tenure” bagi keluarga yang
membukanya. Wilayah yang telah dikuasai oleh keluarga pembuka hutan berubah
statusnya menjadi “private property right.” Orang dari luar komunitas huta
dan banua lain dapat mengakses “private
property right” setelah mendapat
izin dari pemegang otoritas. Ini bisa dilakukan setelah mengikuti prosedur,
syarat dan ketentuan adat, serta tidak boleh melakukan transaksi yang dapat menyebabkan
perpindahan hak kepemilikan kepada orang dan komunitas lain. Bentuk kesatuan
hidup setempat dan ketetanggaan dalam konsepsi Batak dibedakan atas huta
perserahan dan huta pagaran. Huta perserahan atau disebut warga huta dibangun
kemudian. Huta pagaran merupakan huta baru yang didirikan oleh warga kampung
lama karena huta induk sudah terlalu padat dan berkurangnya sumber daya alam
yang tersedia. Huta pagaran merupakan satelit bagi huta induk. Bentuk kesatuan
hidup yang dibangun atas huta perserahan dan huta pagaran selain menggambarkan
jaringan sosial antar penduduk juga berpengaruh terhadap tata kelola politik
dan ekonomi sebuah huta. Dalam konsepsi
etnis Batak huta perserahan dan huta pagaran bukan menggambarkan tata relasi
sosial yang berdimensi horizontal, tetapi
merupakan ekpresi tata kelola politik yang hirarkis. Kelembagaan penguasaan
dan pemanfaatan sumber daya air yang yang dikonsepsikan oleh etnik Pak-Pak
didasarkan atas dan merupakan paduan antara prinsip common property (milik bersama) dan milik umum (open accses).
Pada satu sisi
air sungai dan isinya dianggap sebagai sumberdaya yang terbuka, tidak dapat
dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang, tetapi dikuasai dan dimanfaatkan
secara bersama-sama. Pada sisi lain, karena air sungai mengalir dan (Jurnal Sejarah CITRA LEKHA, Vol. XV, No. 1 Februari 2011: 19-32) melampaui
wilayah teritorial huta, maka penduduk lokal menetapkan bahwa air sungai yang
melintasi wilayah teritorialnya menjadi milik umum. Karena itu sepanjang aliran
sungai terdapat bagian-bagian yang ditetapkan ada yang menjadi wilayah milik
bersama dan ada wilayah milik umum. Kelembagaan masyarakat lokal dalam
penguasaan sumberdaya air secara demikian didasarkan kenyataan karena air yang
mengalir secara alamiah dan relatif permanen dapat menjadi penentu dalam
mendefinisikan suatu hamparan lahan sebagai milik bersama atau lahan yang dapat
dikuasi secara pribadi. Jika sehamparan lahan kering di pinggir sungai yang
dianggap sebagai milik pribadi kemudian karena perpindahan aliran sungai maka
lahan tersebut berubah menjadi milik umum. Artinya lahan tersebut berubah
status dari penguasaan pribadi menjadi tanpa penguasaan (open accses).
Sebalikinya jika di atas aliran sungai
terbentuk suatu delta atau aliran
suangai berpindah sehingga ada bagian yang berubah menjadi daratan maka area
tersebut bisa diklaim sebagai sumberdaya milik pribadi. Sungai sebagai
sumberdaya alam memiliki peran peran penting dalam kehidupan etnis Pak-Pak.
Sungai dan sumberdaya alam yang ada di dalamnya berfungsi sebagai penopang
kehidupan ekonomi, sosial, kesehatan, adat istiadat dan agama. Peran penting
sungai dan sumberdaya air dalam masyarakat Pakpak terlihat dalam pemilihan
lokasi yang dijadikan pemukiman penduduk, biasanya tidak terlalu jauh dari
sungai dan sumberdaya air. Klan Manik yang bertempat tinggal Desa Simerpara,
akar sejarahnya mengindikasikan demikian kuatnya keterikatan dengan kehidupan ekonomi masyarakat lokal
dengan sumberdaya air. Sungai yang berada di wilayah teritorial klan manik
terdapat lubuk larangan, yakni suatu penetapan daerah aliran sungai tertentu
menjadi area terlarang bagi setiap orang untuk memperoleh dan sekaligus dapat
memanfaatkan sumberdaya air (ikan) sebelum
tiba waktu panen yang telah disepakati. Dalam lubuk larangan terdapat ketentuan
lokal yang disepakati bersama untuk tidak mengganggu (menangkap) biota ikan di
area sungai tertentu dalam jangka waktu tertentu (1-2 tahun) dalam rangka
pemanfaatan daerah aliran sungai secara optimal. Begitu juga terdapat
kesepakatan bersama kapan penangkapan ikan dapat dilakukan untuk kepentingan apa dan siapa.
Referensi :
http://ejournal.undip.ac.id/index.php/cilekha/article/download/3412/3067
Tidak ada komentar:
Posting Komentar