Selasa, 29 Maret 2016

PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM INDONESIA
(Rosalia Ernawati, 26215271)

1.      MASALAH SDA STRUKTUR PENGUASAAN SDA
Sumber daya alam mempunyai peranan cukup penting bagi kehidupan manusia. Sumberdaya alam bagi berbagai komunitas di Indonesia bukan hanya memiliki nilai ekonomi tetapi juga makna sosial, budaya dan politik. Sumberdaya alam berperan penting dalam pembentukan peradaban pada kehidupan manusia, sehingga setiap budaya dan etnis memiliki konsepsi dan pandangan dunia tersendiri tentang penguasaan dan pengelolaan dari sumberdaya alam. Konsepsi kosmologi dan pandangan dunia tentang sumberdaya alam terutama tanah pada beberapa etnis di Indonesia memiliki persamaan, yakni tanah sebagai entitats yang integral atau sebagai suatu ekosistem.1 Secara umum tata kelola sumber daya alam yang dilakukan oleh suatu komunitas adat mengenal adanya beragam status penguasaan dan pemanfaatannya. Bentuk dan status penguasaan sumber daya alam dapat dibedakan atas empat kelompok :
(a)    milik umum (open accses)
(b)   milik negara (state)
(c)    milik pribadi atau perorangan (private)
(d)   milik bersama (communal).
Masing-masing bentuk dalam penguasaan sumber daya alam tersebut memiliki karakteristik tersendiri. Pada sumber daya alam milik bersama, status kepemilikannya diambangkan, tiap orang bebas dan terbuka untuk memperoleh manfaat. Berbeda dengan sumber daya alam milik bersama, maka sumber daya milik pribadi merupakan sumber daya yang secara tegas dimiliki oleh orang-perorangan  dan orang lain tidak dapat menguasai dan mengaturnya. Sedangkan sumber daya milik kelompok/komunitas, adalah sumberdaya yang dikuasai oleh suatu kelompok/komunitas, karenanya orang atau kelompok lain tidak dapat mengambil manfaat sumber daya tersebut tanpa izin kelompok yang menguasainya. Pada sumber daya milik negara merupakan sumber daya yang secara tegas dikuasai dan dikontrol oleh negara.
Dalam prakteknya keempat bentuk penguasaan sumber daya tersebut, sering terdapat tumpang tindih dan bervariasi, karena bentuk penguasaannya terkait dengan sistem sosial dan budaya serta pandangan dunia di mana sumber daya itu berada. Menurut pandangan dunia beberapa etnis di Indonesia, tidak selamanya sumberdaya milik umum tidak ada pemiliknya, sumber daya jenis ini dikuasai oleh suatu komunitas adat atau kelompok etnik. Menurut perspektif hukum positif, sumber daya milik umum tidak dimiliki oleh siapapun, termasuk oleh komunitas adat. Sumber daya milik umum seperti sungai, pantai, hutan dan pengembalaan ternak, setiap orang dapat memperoleh manfaat. Mengingat setiap orang dapat memperoleh akses yang sama, maka sumber daya milik umum dieksploitasi  dengan cara berlebihan.4 Pemanfaatan sumberdaya milik umum secara ekspolitatif bermuara pada terjadinya tragedy of common. Tragedy of Common dewasa ini bukan hanya terbatas pada padang pengembalian seperti yang dikemukakan oleh Hardin, tetapi hampir pada semua sumberdaya alam: hutan, laut, sungai, dan air. Secara filofis terjadinya tragedy of common  terkait dengan paradigma yang dipakai dalam  memandang sumberdaya alam. Cara pandang yang dominan dan menjadi mainstream utama dalam pengelolaan sumberdaya alam adalah paradigma antroposentrisme, positivisme dan mekanistis. 5 Paradigma ini  mewakili dan merupakan kelanjutan dari ekonomi liberal atau Neo-Liberal, karena itu dikategorikan sebagai pandangan Liberalis atau Neo-Liberalis. Mengingat dan menelaah dari  peradigma yang mekanistis-reduksionis terbukti menimbulkan tragedi, maka sebagai antitesanya berkembang paradigma holistik, sistematik atau paradigma ekologi. Paradigma demikian dipraktekan dan menjadi bagian hidup dari kelembagaan lokal pada berbagai komunitas yang ada di Indonesia. Praktek pengelolaan sumber daya alam pada berbagai komunitas Desa hutan dan masyarakat sekitar hutan  di luar Jawa dicirikan oleh  relasi yang organis, dinamis dan kompleks, alam tidak dilihat sebagai  relasi sebab akibat yang linear, tetapi dilihat sebagai sebuah jaringan yang kompleks. Keberadaan manusia dan lingkungan diluar manusia diletakan dalam kerangka relasi, keterkaitan dan konteks. Semua sistem kehidupan- organisme hidup, ekosistem dan sistem sosial dipandang sebagai keseluruhan yang terkait satu sama lain dan tidak bisa direduksi kepada bagian-bagian yang lebih kecil. Cara pandang sistematik tentang sumberdaya alam ditemukan pada kelembagaan yang hidup dalam suatu komunitas yang biasanya berbentuk kelembagaan lokal.
2.      KEBIJAKAN SDA STRUKTUR PENGUASAAN SDA
(1)   Mengelola sumber daya alam dan memelihara daya dukungnya agar bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan rakyat dari generasi ke generasi.
(2)   Meningkatkan pemanfaatan potensi sumber daya alam dan lingkungan hidup dengan melakukan konservasi, rehabilitasi dan penghematan penggunaan, dengan menerapkan teknologi ramah lingkungan.
(3)   Menerapkan indikator-indikator yang memungkinkan pelestarian kemampuan keterbaharuan dalam pengelolaan sumber daya alam yang dapat diperbaharui untuk mencegah kerusakan yang tidak dapat balik. Mendelegasikan secara bertahap wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam secara
(4)   Selektif dan pemeliharaan lingkungan hidup sehingga kualitas ekosistem tetap terjaga, yang diatur dengan undang-undang.
(5)   Mendayagunakan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat lokal serta penataan ruang, yang pengusahaannya diatur dengan undang-undang.
3.      DOMINASI SDA DI INDONESIA
Salah satu bentuk kelembagaan lokal yang masih hidup dan fungsional dalam kehidupan komunitas dan masyarakat Desa Simerpara adalah kelembagaan runggu. 16 Kelembagaan runggu menjadi sentral dari kehidupan sosial budaya dan ekonomi  komunitas. Kelembagaan runggu bukan hanya merupakan tata nilai yang bersifat normatif tetapi juga operatif berkenaan pengaturan tanah dan status tanah, penguasaan dan juga pemanfaatan sumberdaya alamn. Sesuai dengan kelembagaan runggu status tanah pada komunitas Desa Simerpara yang didominasi oleh klan Manik (sub klan Pakpak Simsim) merupakan hak ulayat dari marga Manik. Menurut aturan kelembagaan adat lokal, unit teritorial terkecil disebut kuta. Kuta dipimpin oleh seorang kappung dan pimpinan beberapa kuta disebut kepala nagari. Dalam memilih pemimpin, faktor adat dan mistik sering menjadi pertimbangan cukup penting. Sejalan dengan homogenisasi pemerintahan Desa yang dilaksanakan pada rezim Orde Baru sejak tahun 1974, dewasa ini kelembagaan adat dalam pemerintahan yang termarginalkan, sebaliknya  kelembagaan formal (kepala Desa) cukup dominan.
Undang-Undang No. 22 tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah yang memungkinkan tiap daerah dan komunitas adat dapat membentuk pemerintahan Desa sesuai dengan struktur sosial adatnya belum dapat mereposisi eksistensi kuta struktur formal pemerintahan Desa. Aturan yang berlaku dalam penguasaan dan sekaligus pemanfaatan sumberdaya alam di pada komunitas klan Manik sepenuhnya tunduk pada kelembagaan dan dan hukum adat. Penguasaan dan juga pemanfaatan sumber daya alam ditentukan dalam kelembagaan lokal yang disebut runggu. Penguasaan dan pemanfaatan suatu areal tanah tidak boleh bertentangan dengan hak ulayat dan hukum adat, dan tanah tidak dapat diperjual belikan. Pemilihan areal baik untuk pemukiman maupun untuk areal pertanian (ladang dan hutang) ditetapkan dalam suatu musyawarah adat. Penduduk hampir tidak mengenal pemilikan secara individual terhadap suatu wilayah atau sebidang tanah. Pengetahuan penduduk komu-nitas Desa Simerpara berhubungan erat dengan jenis mata pencaharian mereka yakni pertanian ladang.
Mereka mengetahui permulaan musim hujan dan musim kemarau, jenis-jenis kayu yang baik untuk bahan bangunan, tumbuhan hutan yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan pangan, obat- obatan, kerajinan dan untuk keperluan lain. Musim hujan di Desa Simerpara di ditandai dengan banyaknya gelombang embun/awan (gondem) yang bermunculan di udara, sedangkan musim panas dilihat dari munculnya bintang perlambok (bintang besar menyala-nyala yang muncul menjelang pagi). Mereka mengetahui saat yang paling tepat membuka hutan (biasanya dilakukan pada sekitar bulan empat (April). Pada bulan tersebut petani melakukan babad hutan, membersihkan ladang  dan menebang pohon kecil. Pembukaan hutan pada bulan keempat karena merupakan permulaan musim kemarau sehingga semak dan pohon yang ditebang cepat kering dan bisa segera dibakar.
Setelah pembersihan dan pembakaran selesai dilanjutkan dengan menanam padi huma-ladang (biasanya jatuh pada bulan Juni bersamaan dengan permulaan masuknya musim hujan). Teknologi yang dimanfaatkan sehari-hari oleh masyarakat Simerpara terdiri dari alat-alat produktif yang terbuat dari paduan besi dan kayu seperti cangkul, kapak, dan golok sebagai alat utama dalam menebang  kayu dan membuka hutan.  Teknologi yang dimanfaatkan sehari-hari oleh masyarakat terdiri dari alat-alat yang terbuat dari paduan besi dan kayu seperti cangkul, kapak, dan golok yang digunakan untuk menebang  kayu dan membuka hutan. Ada pula alat-alat terbuat dari kayu yang dimanfaatkan untuk mempercepat kerja di ladang seperti untuk membuat lubang tanaman dipergunakan tongkat panjang yang ujungnya diruncingkan, untuk menumbuk padi atau menumbuk bahan pembuat tikar dipergunakan lesung dan lalu (alu) yang juga terbuat dari kayu. Alat teknologi lainnya yang mereka pergunakan adalah tampa (enderu) yang dipakai sebagai alat menampi padi, yang terbuat dari bilahan bambu berbentuk bujur sangkar berukuran 0,75 m x 0,75 m; belagen (tikar) sebagai alas tidur/duduk, atau alat-alat lain yang dimanfaatkan sebagai wadah seperti baka (bakul) dari bengkoang (sejenis pandan) dan selaping juga bakul yang lebih besar. Flora yang yang telah lama didomestikasi oleh penduduk Desa Simerpara antara lain: kemenyan, damar, kelapa, padi ladang, pete, durian, berbagai jenis umbi-umbian, pandan, tanaman rempah-obat-obatan, kayu manis, kayu alim, dan maduamas (sitelu uruk). Hewan yang telah lama didomistikasi oleh penduduk antara lain: babi, anjing, kerbau, berbagai varitas unggas dan ikan sungai. Babi dan anjing merupakan bagian penting dalam kehidupan penduduk.
 
KELEMBAGAAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
Pandangan dunia komunitas yang hidup di Desa Simerpara tentang penguasaan sumberdaya alam, landasan filosofisnya. Pengelolaan Sumber daya Alam Berbasis Kelembagaan Lokal (Hidayat) mencerminkan bangunan struktur sosial etnis Batak pada umumnya. Sebagai bagian dari sub klan Pakpak, konsepsi komunitas klan Manik tentang penguasaan sumberdaya alam berhubungan dengan penguasaan teritorialnya, seperti tercermin dari istilah: ganop-ganop banua martano rura (setiap wilayah banua memiliki wilayah darat dan air yang menjadi teritorialnya). Berlaku aturan bahwa sumberdaya yang ada di wilayah teritorial  suatu huta dan banua dikuasai oleh komunitas yang hidup di dalamnya, terlepas apakah sumberdaya tersebut sudah dikelola (tenure) atau baru sebatas klaim penguasaan wilayah teritorial sesuai hukum adat. Kelembagaan lokal ganop-ganop banua martano rura menunjukkan bahwa sebuah banua dan huta harus ditopang oleh sumberdaya air, kawasan hutan dan tempat pengembalaan. Sumber air diperlukan untuk kebutuhan tepian, mengairi persawahan, memelihara ikan dan keperluan hidup lainnya. Lahan pengembalaan biasanya berada di luar areal pemukiman penduduk, seperti di lereng bukit.
Kawasan hutan diperlukan untuk dapat mendukung penyelenggaraan kehidupan ekonomi penduduk, karena sebagian besar penduduk hidup dari bercocok tanam baik di lahan kering maupun persawahan.  Pembukaan hutan untuk aktivitas pertanian biasanya dimulai dengan membuka ladang, kemudian dibiarkan menjadi blukar atau ditanami lebih lanjut dengan tanaman keras seperti kopi atau karet. Masyarakat lokal mengenal zonasasi hutan atau kawasan hutan, untuk yang terakhir terlarang untuk aktivitas pertanian, berburu maupun meramu hasil- hasil hutan. Keberadaan hutan terlarang dilegitimasi oleh adanya tabu dan unsur- unsur kepercayaan (trust). Akses warga untuk dapat memanfaatkan sumberdaya yang berada pada banua dan huta pada dasarnya terkait dengan struktur sosial politik di mana huta itu berada.  Secara umum terdapat konsepsi bahwa tiap warga dari komunitas etik Pakpak memiliki hak untuk memanfaatkan banua dan huta untuk menghidupi keluarganya, baik melalui usaha pengumpulan, perburuan maupun pembukaan lahan pertanian.
Lahan pertanian yang dibuka menjadi wilayah “tenure” bagi keluarga yang membukanya. Wilayah yang telah dikuasai oleh keluarga pembuka hutan berubah statusnya menjadi “private property right.” Orang dari luar komunitas huta dan banua lain dapat mengakses “private property right” setelah mendapat izin dari pemegang otoritas. Ini bisa dilakukan setelah mengikuti prosedur, syarat dan ketentuan adat, serta tidak boleh melakukan transaksi yang dapat menyebabkan perpindahan hak kepemilikan kepada orang dan komunitas lain. Bentuk kesatuan hidup setempat dan ketetanggaan dalam konsepsi Batak dibedakan atas huta perserahan dan huta pagaran. Huta perserahan atau disebut warga huta dibangun kemudian. Huta pagaran merupakan huta baru yang didirikan oleh warga kampung lama karena huta induk sudah terlalu padat dan berkurangnya sumber daya alam yang tersedia. Huta pagaran merupakan satelit bagi huta induk. Bentuk kesatuan hidup yang dibangun atas huta perserahan dan huta pagaran selain menggambarkan jaringan sosial antar penduduk juga berpengaruh terhadap tata kelola politik dan ekonomi sebuah huta.  Dalam konsepsi etnis Batak huta perserahan dan huta pagaran bukan menggambarkan tata relasi sosial yang berdimensi horizontal, tetapi  merupakan ekpresi tata kelola politik yang hirarkis. Kelembagaan penguasaan dan pemanfaatan sumber daya air yang yang dikonsepsikan oleh etnik Pak-Pak didasarkan atas dan merupakan paduan antara prinsip common property (milik bersama) dan milik umum (open accses).
Pada satu sisi air sungai dan isinya dianggap sebagai sumberdaya yang terbuka, tidak dapat dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang, tetapi dikuasai dan dimanfaatkan secara bersama-sama. Pada sisi lain, karena air sungai mengalir dan (Jurnal Sejarah CITRA LEKHA, Vol.  XV, No. 1 Februari 2011: 19-32) melampaui wilayah teritorial huta, maka penduduk lokal menetapkan bahwa air sungai yang melintasi wilayah teritorialnya menjadi milik umum. Karena itu sepanjang aliran sungai terdapat bagian-bagian yang ditetapkan ada yang menjadi wilayah milik bersama dan ada wilayah milik umum. Kelembagaan masyarakat lokal dalam penguasaan sumberdaya air secara demikian didasarkan kenyataan karena air yang mengalir secara alamiah dan relatif permanen dapat menjadi penentu dalam mendefinisikan suatu hamparan lahan sebagai milik bersama atau lahan yang dapat dikuasi secara pribadi. Jika sehamparan lahan kering di pinggir sungai yang dianggap sebagai milik pribadi kemudian karena perpindahan aliran sungai maka lahan tersebut berubah menjadi milik umum. Artinya lahan tersebut berubah status dari penguasaan pribadi menjadi tanpa penguasaan (open accses). Sebalikinya jika  di atas aliran sungai terbentuk  suatu delta atau aliran suangai berpindah sehingga ada bagian yang berubah menjadi daratan maka area tersebut bisa diklaim sebagai sumberdaya milik pribadi. Sungai sebagai sumberdaya alam memiliki peran peran penting dalam kehidupan etnis Pak-Pak. Sungai dan sumberdaya alam yang ada di dalamnya berfungsi sebagai penopang kehidupan ekonomi, sosial, kesehatan, adat istiadat dan agama. Peran penting sungai dan sumberdaya air dalam masyarakat Pakpak terlihat dalam pemilihan lokasi yang dijadikan pemukiman penduduk, biasanya tidak terlalu jauh dari sungai dan sumberdaya air. Klan Manik yang bertempat tinggal Desa Simerpara, akar sejarahnya mengindikasikan demikian kuatnya keterikatan  dengan kehidupan ekonomi masyarakat lokal dengan sumberdaya air. Sungai yang berada di wilayah teritorial klan manik terdapat lubuk larangan, yakni suatu penetapan daerah aliran sungai tertentu menjadi area terlarang bagi setiap orang untuk memperoleh dan sekaligus dapat memanfaatkan sumberdaya air  (ikan) sebelum tiba waktu panen yang telah disepakati. Dalam lubuk larangan terdapat ketentuan lokal yang disepakati bersama untuk tidak mengganggu (menangkap) biota ikan di area sungai tertentu dalam jangka waktu tertentu (1-2 tahun) dalam rangka pemanfaatan daerah aliran sungai secara optimal. Begitu juga terdapat kesepakatan bersama kapan penangkapan ikan dapat dilakukan  untuk kepentingan apa dan siapa.

Referensi :
http://ejournal.undip.ac.id/index.php/cilekha/article/download/3412/3067

Senin, 28 Maret 2016

SISTEM EKONOMI INDONESIA
(Indah Margareth, 23215336)

1.      PENGERTIAN SISTEM
Istilah “sistem” berasal dari perkataan “systema” (bahasa Yunani), yang dapat diartikan sebagai: keseluruhan yang terdiri dari macam-macam bagian. Pada dasarnya sebuah sistem adalah  suatu organisasi besar yang menjalin berbagai subjek (atau objek) serta perangkat kelembagaan dalam suatu tatanan tertentu (Dumairy, 1996: 28). Suatu sistem muncul karena adanya usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Pemenuhan kebutuhan manusia yang sangat bervariasi akan memunculkan sistem yang berbeda-beda. Kebutuhan manusia yang bersifat dasar (pangan, pakaian, papan) akan memunculkan suatu sistem ekonomi.

2.      SISTEM EKONOMI DAN SISTEM POLITIK
Sistem ekonomi adalah suatu sistem yang mengatur serta menjalin hubungan ekonomi antar manusia dengan seperangkat kelembagaan dalam suatu tatanan kehidupan. Suatu sistem ekonomi tidaklah berdiri sendiri ia berkaitan dengan falsafah, pandangan dan pola hidup masyarakat tempatnya berpijak. Sebuah sistem ekomomi sesungguhnya merupakan salah satu unsur saja dalam suatu suprasistem kehidupan masyarakat. Ia merupakan bagian dari kesatuan ideologi kehidupan bermasyarakat di suatu Negara. Oleh karenanya, bukanlah hal yang mengherankan apabila dalam perjalanan atau penerapan suatu sistem ekonomi tertentu di sebuah Negara terjadi benturan, konflik atau bahkan tentangan. Pelaksaaan suatu sistem ekonomi tertentu di sebuah Negara akan berjalan mulus jika [jika dan hanya jika] lingkungan kelembagaan masyarakatnya mendukung. Sistem ekonomi suatu Negara dikatakan bersifat khas, sehingga bisa dibedakan dari sitem ekonomi yang berlaku atau diterapkan di negara lain, berdasarkan beberapa sudut tinjauan seperti: 1. Sitem pemilikan sumber daya atau faktor-faktor produksi 2. Keleluasaan masyarakat untuk saling berkompetisi satu sama lain dan untuk menerima imbalan atas prestasi kerjanya. 3. Kadar peranan pemerintah dalam mengatur, mengarahkan, dan merencanakan kehidupan bisnis dan perekonomian pada umumnya.

3.      KAPITALISME DAN SOSIALISME
Sistem ekonomi kapitalis mengakui pemilikan individual atas sumber daya ekonomi atau faktor produksi. Setidak-tidaknya , terdapat keleluasaan yang sangat longgar bagi orang perorangan dalam atau untuk memiliki sumber daya. Kompetisi antarindividu dalam memenuhi kebutuhan hidup , persaingan anatr badan usaha dalam mengejar keuntungan sangat dihargai. Sistem ekonomi sosialis adalah sebaliknya. sumber daya ekonomi atau faktor produksi di klaim sebagai milik negara. Sistem ini lebih menekankan pada kebersamaan masyarakat dalam menjalankan dan memajukan perekonomian. Imbalan yang diterimakan pada orang perorangan didasarkan pada kebutuhannya. Bukan berdasarkan jasa yang dicurahkan. Prinsip “keadilan” yang dianut oleh sistem ekonomi sosialis adalah “setiap orang menerima imbalan yang sama”.kadar campur tangan pemerintah sangat tinggi. Justru pemerintahlah yang menentukan dan merencanakan tiga persoalan pokok ekonomi. What (apa yang harus diproduksi), How (bagaimana memproduksinya), For whom (untuk siapa diproduksi). Di antara kedua ekstrem sistem ekonomi tersebut. Terdapat sebuah sistem lain yang merupakan “campuran” antara keduanya, dengan berbagai variasi kadar dominasinya, dan juga dengan berbagai variasi nama atau istilahnya. Sistem ekonomi campuran pada umumnya diterapkan oleh negara-negara berkembang atau negara-negara dunia ketiga. Beberapa diantaranya cukup konsisten meramu resep campurannya; dalam arti kadar kapitalismenya lebih tinggi (contonhya Filipina). Atau bobot sosialismenya senantiasa lebih besar (misalnya india). Banyak pula negara berkembang yang goyah meramu campuran kedua sistem ini. Sistem ekonomi campuran yang diterapkannnya ibarat pendulum (bandul jam dinding); kadang-kadang condong kapitalistik, sementara dilain waktu cenderung sosialistik, mengikuti rejim pemerintah yang sedang berkuasa.

4.      PERSAINGAN TERKENDALI
Ditinjau berdasarkan sistem pemilikan sumber daya ekonomi atau faktor-faktor produksi, tidak terdapat alasan untuk menyatakan bahwa sitem ekonomi kita adalah kapitalistik. Sama halnya, tak pula cukup argumentasi untuk mengatakan bahwa kita menganut sistem ekonomi sosialis. Indonesia mengakui pemilikan individual atas faktor-faktor produksi; kecuali untuk sumber daya, sumber daya yang menguasai hajat hidup orang banyak, dikuasai oleh negara. Hal ini, sebagaimana diketahui bersama, diatur dengan tegas oleh pasal 33 UUD 1945. Jadi, secara konstitusional , sistem ekonomi Indonesia bukan kapitalisme dan bukan sosialisme. Sehubungan dengan persaingan antar badan usaha, tidak terdapat rintangan bagi suatu perusahaan untuk memasuki bidang usaha tertentu. Namun untuk menghindari persaingan tak sehat dalam pasar barang tertentu yang sudah jenuh, pemerintah mengendalikannya dengan membuka prioritas-prioritas bidang usaha; termasuk juga prioritas lokasi usaha. Pengendalian dimaksud misalnya ialah dengan mengumumkan Daftar Negatif Investasi (DNI).

5.      KADAR KAPITALISME DAN SOSIALISME
Unsur-unsur kapitalisme dan sosialisme jelas terkandung dalam pengorganisasian ekonomi Indonesia. Untuk melihat seberapa tebal kadar masing-masing “isme” ini mewarnai perekonomian, seseorang bisa melihatnya dari dua pendekatan. Pertama adalah dengan pendekatan faktual structural, yakni menelaah peranan pemerintah atau negara dalam struktur perekonomian. Kedua adalah pendekatan sejarah , yakni dengan menelusuri bagaimana perekonomian bangsa diorganisasikan dari waktu ke waktu. Untuk mengukur kadar keterlibatan pemerintah dalam perekonomian dengan pendekatan faktual- struktural, dapat digunakan kesamaan agregat Keynesian yang berumuskan : Y = C + I + G + (X – M) Dengan formula ini berarti produk atau pendapatan nasional dirinci menurut penggunanaan atau sector pelakunya. Kesamaan ini merupakan rumus untuk menghitung pendapatan nasional dengan pendekatan pengeluaran. Variable C melambangkan konsumsi masyarakat, mewakili sektor orang perorangan atau rumah tangga.variabel I melambangkan pengeluaran investasi perusahaan-perusahaan, mewakili sektor usaha swasta. Sektor pemerintah diwakili oleh variable G yang melambangkan pengeluaran konsumsi pemaerintah. Adapun X dan M masing-masing melambangkan ekspor dan impor, mewakili sektor perdagangan luar negeri negara yang bersangkutan. Sistem ekonomi campuran dengan persaingan terkendali, agaknya merupakan sistem ekonomi yang tepat untuk mengelola perekonomian indonesia. Walaupun demikian, akhir-akhir ini kita dapat menyaksikan dan merasakan betapa perekonomian Indonesia semakin bersifat liberal dan kapitalistik. Terdapat cukup bukti untuk menunjukan kadar kapitalisme yang semakin tebal. Derasnya arus globalisasi bersamaan dengan bubarnya sejumlah negara komunis utama yang bersistem ekonomi sosialisme, telah menggiring Indonesia terseret arus kapitalisme. Apakah bangsa dan masyarakat kita pada akhirnya akan dapat menerima sistem ekonomi kapitalisme yang kian menggejala sekarang ini, sejarahlah kelak yang akan menjawabnya.

Referensi :
file:///C:/Users/user/Downloads/Sistemekon5c9cb6ce48.pdf
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/Anik%20Widiastuti,%20S.Pd.,%20M.Pd./DIKTAT%20PEREKONOMIAN%20INDONESIA.pdf.
SEJARAH EKONOMI INDONESIA
(Junita Kurniawati, 23215638)

1.      SEJARAH PRA KOLONIALISME
Koloni merupakan negeri, tanah jajahan yang dikuasai oleh sebuah kekuasaan asing. Koloni adalah satu kawasan diluar wilayah negara asal atau induk. Tujuan utama kolonialisme adalah kepentingan ekonomi.Kebanyakan koloni yang yang 4 dijajah adalah wilayah yang kaya akan bahan mentah, keperluan untuk mendapatkan bahan mentah adalah dampak dari terjadinya Revolusi Industri di Inggris. Istilah kolonialisme bermaksud memaksakan satu bentuk pemerintahan atas sebuah wilayah atau negeri lain (tanah jajahan) atau satu usaha untuk mendapatkan sebuah wilayah baik melalui paksaan atau dengan cara damai. Usaha untuk mendapatkan wilayah biasanya melalui penaklukan.
Penaklukan atas sebuah wilayah bisa dilakukan secara damai atau paksaan baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada mulanya mereka membeli barang dagangan dari penguasa lokal, untuk memastikan pasokan barang dapat berjalan lancar mereka kemudian mulai campur tangan dalam urusan pemerintahan penguasa setempat dan biasanya mereka akan berusaha menjadikan wilayah tersebut sebagai tanah jajahan mereka. Negara yang menjajah menggariskan panduan tertentu atas wilayah jajahannya, meliputi aspek kehidupan sosial, pemerintahan, undang-undang dan sebagainya. Sejarah perkembangan kolonialisme bermula ketika Vasco da Gama dari Portugis berlayar ke india pada tahun 1498.
Di awali dengan pencarian jalan ke Timur untuk mencari sumber rempah-rempah perlombaan mencari tanah jajahan dimulai. Kuasa Barat Portugis dan Spanyol kemudian diikuti Inggris dan Belanda berlomba-lomba mencari daerah penghasil rempah-rempah dan berusaha mengusainya. Penguasaan wilayah yang awalnya untuk kepentingan ekonomi akhirnya beralih menjadi penguasaan atau penjajahan politik yaitu campur tangan untuk menyelesaikan pertikaian, perang saudara, dan sebagainya.
Ini karena kuasa kolonial tersebut ingin menjaga kepentingan perdagangan mereka daripada pergolakan politik lokal yang bisa mengganggu kelancaran perdagangan mereka. Kolonialisme berkembang pesat setelah perang dunia I. Sejarah kolonialisme Eropa dibagi dalam tiga peringkat. Pertama dari abad 15 hingga Revolusi industri (1763) yang memperlihatkan kemunculan kuasa Eropa seperti Spanyol dan Portugis. Kedua, setelah Revolusi Industri hingga tahun 1870-an. Ketiga, dari tahun 1870-an hingga tahun 1914 ketika meletusnya Perang Dunia I yang merupakan puncak pertikaian kuasa-kuasa imperialis

1.1  Perdagangan Asia dan Munculnya Imperialisme dan Kolonialisme Barat
Perdagangan Asia dan Munculnya Imperialisme dan Kolonialisme Barat Di zaman perekonomian Asia yang telah maju, perekonomian Eropa justru masih tertinggal jauh. Pusat perkembangan ekonomi dan politik dunia dalam abad ke-14 s/d abad ke-15 adalah dunia Islam, khususnya imperium Turki Usmani (Ottoman) yang telah menguasai wilayah-wilayah strategis yang semula dikuasai oleh Romawi-Byzantium. Penguasaan atas wilayah-wilayah itu sekaligus telah menyekat jalur perdagangan dari Timur ke Barat yang mengakibatkan barang-barang dagangan dari Timur seperti rempah-remapah menjadi langka dan harganya melambung tinggi. Meskipun harganya relatif tinggi ternyata minat masyarakat Eropa waktu itu terhadap komoditi itu tidak menurun, bahkan cenderung meningkat.
Oleh karena itu maka para penguasa dan pengusaha atau pedagang Eropa berupaya mencari jalan alternatif ke daerah penghasil komoditi tersebut. Meningkatnya permintaan baik dari Eropa maupun dari tempat lainnya seperti India secara tidak lengsung telah mendorong para produsen di kepulauan Nusantara, khususnya kepulauan Maluku memperluas tanaman ekspornya, terutama pala dan cengkeh. Selain adanya perluasan seperti pala dan cengkeh, juga di beberapa pulau, seperti di Sumatera dikembangkan pula komoditi lain yang juga sangat diminati orang-orang Eropa, yaitu lada. Walaupun harganya hanya separuh rempah-rempah, namun waktu itu lada sudah termasuk komoditi ekspor yang penting dari wilayah Nusantara, bahkan Asia Tenggara. Menurut beberapa sumber, tanaman ini mulanya merupakan barang dagangan dari Kerala, pantai Malabar di India barat daya, yang dikenal oleh orang-orang Arab dan Eropa sebagai “negeri lada”. Sejak kapan lada dibumidayakan oleh penduduk Sumatera tidak begitu jelas.
1.1.1        Emporium Malaka
Sejak runtuhnya Sriwijaya, kota pelabuhan terbesar yang patut disebut sebuah emporium adalah Malaka. Kota pelabuhan yang sekaligus menyandang nama kerajaan itu muncul pada ke-15 M. Kemunculannya sekaligus menggeser kedudukan Pasai dalam dunia perdagangan internasional. Secara geografis letak Malaka cukup 6 strategis dan lebih menguntungkan dibandingkan Pasai. Pendiri Malaka, yaitu Parameswara menyadari pentingnya jaminan keamanan bagi negerinya yang kehidupan ekonominya lebih banyak bertumpu pada perdagangan daripada pertanian. Agar kotanya tetap ramai, penguasa Malaka berusaha mengamankan jalur-jalur perdagangannya dari para bajak laut atau lanun yang berkeliaran di sekitar Selat Malaka.
Di samping itu penguasa Malaka berupaya menjalin hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan sekitarnya, terutama Majapahit (Jawa), Siam dan Cina. Malaka juga mengirimkan ekspedisi militernya ke negeri-negeri yang dianggapnya penting untuk dikuasai karena menghasilkan barang-barang yang sangat dibutuhkan Malaka. Misalnya Kampar di pantai timur Sumatera ditaklukannya karena daerah ini merupakan penghasil lada dan merupakan pintu keluarnya emas dari daerah pedalaman Minangkabau. Kemudian Siak juga ditaklukan dan dikuasainya karena menghasilkan emas. Keberhasilan Parameswara menjalankan kebijakan politiknya, ditambah dengan perbaikan sistem pergudangan dan perbengkelan kapal (doking), membuat kota Malaka berkembang menjadi sebuah emporium terbesar di Asia Tenggara.
Apalagi setelah penguasa Malaka menjadi Islam pada tahun 1414, telah mendorong semakin banyak pedagang Islam dari Arab dan India yang nota bene menguasai jalur perdagangan dari Asia ke Timur Tengah, melakukan kegiatan bisnis-perdagangan di kota ini. Menurut Tomé Pires, penulis Portugis, kebijakan yang ditempuh para raja Malaka adalah menumbuhkan sistem birokrasi yang dapat memenuhi tugasnya dalam mengatur perekonomian Malaka. Salah satu jabatan yang erat kaitannya dengan perdagangan di pelabuhan adalah Syahbandar. Di Malaka waktu itu ada empat orang syahbandar yang dipilih sendiri oleh para pedagang asing dari berbagai kelompok bangsa untuk mengurusi kepentingan niaga mereka. Pertama, syahbandar yang mengurusi para pedagang Gujarat; kedua, syahbandar yang mengurusi para pedagang Keling, Bengali, Pegu, dan penduduk Pasai; ketiga, syahbandar yang menjaga kepentingan para pedagang Jawa, Maluku, Banda, Palembang, Kalimantan, dan Filipina (Sulu dan Mangindanau); dan keempat adalah syahbandar yang menjaga dan 7 mewakili para pedagang Cina dan kepulauan Liu-Kiu. Kedudukan Malaka seperti inilah yang mendorong Portugis berusaha menguasainya.
Bangsa Portugis telah mendengar informasi tentang kota Malaka dengan segala kekayaan dan kebesarannya itu dari pedagang-pedagang Asia. Atas dasar informasi itu Raja Portugal mengutus Diogo Lopes de Sequeira untuk menemukan kota tersebut, menjalin hubungan persahabatan dengan penguasanya dan menetap di sana sebagai wakil raja Portugal. Awalnya Sequeira disambut dengan senang hati oleh Sultan Mahmud Syah (1488-1528). Sikap Sultan kemudian berubah setelah komunitas dagang Islam internasional yang ada di bandar itu meyakinkannya bahwa Portugis merupakan suatu ancaman berat baginya. Oleh karena itu Sultan berusaha menangkap Sequeira dan anak buahnya. Empat kapal Portugis yang sedang berlabuh berusaha dirusak oleh pihak Sultan, namun gagal karena para kaptennya telah berhasil membaya kapal-kapal itu berlayar ke laut lepas. Penyerangan terhadap Portugis juga terjadi di tempat lainnya di barat.
Dengan adanya kejadian seperti itu Portugis yakin bahwa untuk menguasi perdagangan hanyalah dengan cara penaklukan, sekaligus mengokohkan eksistensinya dalam dunia perdagangan Asia. Afonso d’Albuquerque, panglima Portugis yang mendapat tugas untuk merebut Malaka dengan satu perhitungan jika Malaka dapat dikuasai maka seluruh perdagangan merica di Asia akan menjadi milik Portugis. Sebelum sampai ke Malaka, Portugis telah menguasai Hormuz dan Sokotra di sekitar Teluk Persia dan Goa di pantai barat India yang kemudian dijadikan pangkalan tetap Portugis. Pada bulan April 1511, Albuquerque berlayar dari Goa menuju Malaka dengan membawa armada Portugis yang berkekuatan 1200 orang dan delapan belas buah kapal perang. Perang terjadi secara sporadis sepanjang bulan Juli dan awal bulan Agustus, yang akhirnya dimenangkan oleh Portugis.
1.1.2        Awal Kolonialisme Bangsa Barat
Di satu pihak jatuhnya Byzantium ke tangan Turki Usmani telah menyebabkan komoditi dari Asia Timur dan Asia Tenggara di Eropa langka dan kalaupun adanya harganya sangat mahal. Namun di pihak lainnya peristiwa itu berdampak positif karena telah mendorong meningkatnya ilmu pengetahuan di dunia 8 Barat. Hal ini karena banyak ahli budaya-teknologi dari Byzantium yang lari ke Barat berhasil menularkan pengetahuannya di sana. Di Portugal misalnya, pengetahuan geografis dan astronominya meningkat semakin baik, sehingga orangorang Portugis berhasil menjadi mualim-mualim kapal yang mahir dan tangguh. Kepandaian ini kemudian dipadukan dengan berkembangnya teknologi perkapalannya mulai dari penemuan sistem layar segitiga dengan temali-temali persegi, serta kontruksi kapal yang semakin baik sehingga kapal-kapal mereka lebih mudah digerakkan dan lebih layak dipakai untuk pelayaran samudra.
Demikian pula teknologi persenjataan mereka berkembang sehingga mampu menciptakan meriammeriam yang dapat ditempatkan di atas kapal-kapal mereka. Kapal-kapal perangnya lebih menyerupai panggung meriam di lautan daripada istana terapung bagi para pemanah atau geladak balista (alat pelontar) seperti pada kapal-kapal Romawi pada masa Julius Caesar dan Oktavianus Agustus. Penemuan-penemuan teknologi itulah yang kemudian mendorong mereka untuk mencari jalur baru ke India (dalam mitos masyarakat Eropa waktu itu, rempah-rempah berasal dari India, sehingga mereka berlayar ke timur termasuk ke benua Amerika, adalah untuk mencari India). Namun perlu dikemukakan di sini, bahwa Portugis berlayar ke timur bukan semata-mata untuk mencari rempah-rempah, tetapi juga untuk mencari emas dan sekutu untuk melawan Turki dalam arti melanjutkan “perang salib”.
Pencarian emas dan perak kemudian menjadi penting karena kedua logam mulia itu dijadikan semacam indikator kesuksesan satu negara, seperti dikemukakan oleh Antonio Serra bahwa kekayaan itu tiada lain adalah emas dan perak. Politik ekonomi ini dikenal di Eropa sebagai ekonomi Merkantilis. Paham ini mulai berkembang sekitar tahun 1500-an dan semakin berkembang setelah terbit tulisan-tulisan dari para pendukung paham ini, seperti Jean Colbert dari Perancis dan Thomas Mun dari Inggris. Atas dorongan Pangeran Henry ‘Si Mualim’, Portugis memulai usaha pencarian emas dan jalan untuk mengepung lawan yang beragama Islam dengan menelusuri pantai barat Afrika. Mereka berusaha mencari jalan menuju Asia (India) guna memotong jalur pelayaran pedagang Islam, sekaligus untuk memonopoli perdagangan komoditi tersebut. 9 Pada tahun 1478, Bartolomeu Diaz sampai ke Tanjung Harapan di ujung selatan Benua Afrika. Kemudian pada tahun 1497 armada pimpinan Vasco da Gama sampai ke India.
Pengalaman di India ini telah menyadarkan orang-orang Portugis bahwa barang-barang perdagangan mereka tidak dapat bersaing di pasaran India yang canggih dengan hasil-hasil yang mengalir melalui jaringan perdagangan Asia. Oleh karena itulah semboyan “God –Gold – Glory” bagi mereka menjadi relevan, karena tidak ada cara lain untuk menguasai perdagangan Asia selain melalui peperangan dan menjadikan daerah-daerah penghasil komoditi itu sebagai koloni.
1.1.3        Dampak dikuasainya Malaka oleh Portugis
Setelah Portugis berhasil menguasai Malaka, mereka menemukan kenyataan yang di luar perkiraannya. Kota pelabuhan itu bagaikan ayam dalam dongeng “ayam bertelor emas” yang cukup terkenal di kalangan masyarakat Melayu. Seekor ayam yang setiap hari bertelor satu butir telor emas, yang kemudian disembelih oleh pemiliknya karena tidak sabar menunggu dan ingin segera mendapatkan telor-telor emas itu. Ternyata dalam tubuh ayam itu tidak ada telor emas. Portugis menemukan suatu kenyataan bahwa Malaka bukanlah produsen dari semua komoditi ekspor (khususnya merica) yang dicari-cari oleh para pedagang Barat. Kebesaran Malaka adalah karena peranannya sebagai emporium, pelabuhan transit bagi para pedagang Asia.
Dengan diterapkannya politik monopoli serta upaya kristenisasi oleh Portugis, peranan yang disebutkan terakhir justru terganggu. Para perdagangan Asia, khususnya pedagang Islam merasa tidak nyaman lagi berdagang di kota tersebut. Umumnya mereka berupaya menghindari kota emporium itu dan mencari jalan alternatif guna mencapai tempat-tempat atau pelabuhan-pelabuhan lain yang diduga dapat memenuhi kebutuhan dagangnya. Jalur perdagangan di Asia Tenggara pun berubah, tidak lagi melalui Malaka tetapi melalui pantai barat Sumatera, lalu masuk selat Sunda untuk selanjutnya menelusuri pantai utara Jawa menuju kepulauan Indonesia bagian Timur yang menghasilkan banyak rempah-rempah. Di jalur perdagangan baru itu umbuh pusatpusat perdagangan baru, seperti Aceh, Banten, Semarang, Jepara dan Surabaya. 10 Sementara itu Malaka yang dihindari oleh para pegadang Islam kedudukannya semakin merosot dan tidak pernah meraih kembali kejayaan dan kebesarannya.
Portugis sendiri akhirnya menyadari bahwa pentingnya Malaka adalah peranannya sebagai pelabuhan emporium, pelabuhan transito. Guna mempertahankan fungsinya itu, kapal-kapal Portugis belayar ke Maluku untuk mengambil komoditi tersebut. Pada waktu itu di Maluku ada dua kesultanan Islam yang besar dalam kondisi sedang menurun dalam kekuasaan politiknya dan saling bermusuhan satu sama lain, yaitu Ternate dan Tidore. Selain ke Maluku Portugis berusaha menjalin hubungan diplomatik dengan Pajajaran, satu kerajaan Hindu di Jawa Barat yang kedudukan politiknya juga sedang menurun. Namun kerjasama dengan kerajaan ini tidak sempat terwujud karena Pajajaran tenggelam oleh kekuatan Islam Demak - Banten. Kenyataan ini telah memaksa Portugis untuk meninggalkan politik anti Islamnya (Perang Salib), dan berusaha mencari mitra kerja atau sekutu dagang dari kalangan Islam. Sebab, (1) Portugis harus menerima kenyataan bahwa kerajaankerajaan di sekitarnya adalah Islam, dan (2) perdagangan Islam di Asia Tenggara sampai Timur Tengah cukup dominani.

Referensi :
http://staff.ui.ac.id/system/files/users/iman.hilman/material/phki-2.pdf

2.      SISTEM MONOPOLI VOC
a.      Lahirnya VOC
Lahirnya VOC Seperti telah dijelaskan di muka bahwa tujuan kedatangan orang-orang Eropa ke dunia timur antara lain untuk mendapatkan keuntungan dan kekayaan. Tujuan ini boleh dikatakan dapat dicapai setelah mereka menemukan rempah-rempah di Kepulauan Nusantara. Berita tentang keuntungan yang melimpah berkat perdagangan rempah-rempah itu menyebar luas. Dengan demikian semakin banyak orang-orang Eropa yang tertarik pergi ke Nusantara. Mereka saling berinteraksi dan bersaing dalam meraup keuntungan berdagang. Para pedagang atau perusahaan dagang Portugis bersaing dengan para pedagang Belanda, bersaing dengan para pedagang Spanyol, bersaing dengan para pedagang Inggris, dan seterusnya. Bahkan tidak hanya antarbangsa, antarkelompok atau kongsi dagang, dalam satu bangsapun mereka saling bersaing. Oleh karena itu, untuk memperkuat posisinya di dunia timur masing-masing kongsi dagang dari suatu negara membentuk persekutuan dagang bersama.
Sebagai contoh seperti pada tahun 1600 Inggris membentuk sebuah kongsi dagang yang diberi nama East India Company (EIC). Kongsi dagang EIC ini kantor pusatnya berkedudukan di Kalkuta, India. Dari Kalkuta ini kekuatan dan setiap kebijakan Ingris di dunia timur, dikendalikan. Pada tahun 1811 kedudukan Inggris begitu kuat dan meluas bahkan pernah berhasil menempatkan kekuasaannya di Nusantara. Persaingan yang cukup keras juga terjadi di antarperusahaan dagang orang-orang Belanda. Masing-masing ingin memenangkan kelompoknya agar mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Kenyataan ini mendapat perhatian khusus dari pihak pemerintah dan parlemen Belanda, sebab persaingan antarkongsi Belanda juga akan merugikan Kerajaan Belanda sendiri. Terkait dengan itu, maka pemerintah dan Parlemen Belanda (Staten Generaal) pada 1598 mengusulkan agar antarkongsi dagang Belanda bekerja sama membentuk sebuah perusahaan dagang yang lebih besar. Usulan ini baru terealisasi empat tahun berikutnya, yakni pada 20 Maret 1602 secara resmi dibentuklah persekutuan kongsi dagang Belanda di Nusantara sebagai hasil fusi antarkongsi yang telah ada. Kongsi dagang Belanda ini diberi nama Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) atau dapat disebut dengan “Perserikatan Maskapai Perdagangan Hindia Timur/Kongsi Dagang India Timur”.
VOC secara resmi didirikan di Amsterdam. Adapun tujuan dibentuknya VOC ini antara lain untuk: (1) menghindari persaingan yang tidak sehat antara sesama kelompok/kongsi pedagang Belanda yang telah ada, (2) memperkuat kedudukan Belanda dalam menghadapi persaingan dengan para pedagang negara lain. VOC dipimpin oleh sebuah dewan yang beranggotakan 17 orang, sehingga disebut “Dewan Tujuh Belas” (de Heeren XVII). Mereka terdiri dari delapan perwakilan kota pelabuhan dagang di Belanda. Markas Besar Dewan ini berkedudukan di Amsterdam. Dalam menjalankan tugas, VOC ini memiliki beberapa kewenangan dan hak-hak antara lain: 1. melakukan monopoli perdagangan di wilayah antara Tanjung Harapan sampai dengan Selat Magelhaens, termasuk Kepulauan Nusantara, 2. membentuk angkatan perang sendiri, 3. melakukan peperangan, 4. mengadakan perjanjian dengan raja-raja setempat, 5. mencetak dan mengeluarkan mata uang sendiri, 6. mengangkat pegawai sendiri, dan 7. memerintah di negeri jajahan. Sebagai sebuah kongsi dagang, dengan kewenangan dan hak-hak di atas, menunjukkan bahwa VOC memiliki hak-hak istimewa dan kewenangan yang sangat luas. VOC sebagai kongsi dagang bagaikan negara dalam negara. Dengan memiliki hak untuk membentuk angkatan perang sendiri dan boleh melakukan peperangan, maka VOC cenderung ekspansif. VOC terus berusaha memperluas daerah-daerah di Nusantara sebagai wilayah kekuasaan dan monopolinya. VOC juga memandang bangsa-bangsa Eropa yang lain sebagai musuhnya. Mengawali ekspansinya tahun 1605 VOC telah berhasil mengusir Portugis dari Ambon. Benteng pertahanan Portugis di Ambon dapat diduduki tentara VOC.
Benteng itu kemudian oleh VOC diberi nama Benteng Victoria. Pada awal pertumbuhannya sampai tahun 1610, “Dewan Tujuh Belas” secara langsung harus menjalankan tugas-tugas dan menyelesaikan berbagai urusan VOC, termasuk urusan ekspansi untuk perluasan wilayah monopoli. Dapat Kamu bayangkan “Dewan Tujuh Belas” yang berkedudukan di Amsterdam, Belanda mengurus wilayah yang ada di Kepulauan Nusantara. Sudah barang tentu “Dewan Tujuh Belas” tidak dapat menjalankan tugas seharihari secara cepat dan efektif. Sementara itu persaingan dan permusuhan dengan bangsabangsa lain juga semakin keras. Berangkat dari permasalahan ini maka pada 1610 secara kelembagaan diciptakan jabatan baru dalam organisasi VOC, yakni jabatan gubernur jenderal. Gubernur jenderal merupakan jabatan tertinggi yang bertugas mengendalikan kekuasaan di negeri jajahan VOC. Di samping itu juga dibentuk “Dewan Hindia” (Raad van Indie). Tugas “Dewan Hindia” ini adalah memberi nasihat dan mengawasi kepemimpinan gubernur jenderal. Gubernur jenderal VOC yang pertama adalah Pieter Both (1610-1614). Sebagai gubernur jenderal yang pertama, Pieter Both sudah tentu harus mulai menata organisasi kongsi dagang ini sebaik-baiknya agar harapan mendapatkan monopoli perdagangan di Hindia Timur dapat diwujudkan.
Pieter Both pertama kali mendirikan pos perdagangan di Banten pada tahun 1610. Pada tahun itu juga Pieter Both meninggalkan Banten dan berhasil memasuki Jayakarta. Penguasa Jayakarta waktu itu, Pangeran Wijayakrama sangat terbuka dalam hal perdagangan. Pedagang dari mana saja bebas berdagang, di samping dari Nusantara juga dari luar seperti dari Portugis, Inggris, Gujarat/India, Persia, Arab, termasuk juga Belanda. Dengan demikian Jayakarta dengan pelabuhannya Sunda Kelapa menjadi kota dagang yang sangat ramai. Kemudian pada tahun 1611 Pieter Both berhasil mengadakan perjanjian dengan penguasa Jayakarta, guna pembelian sebidang tanah seluas 50x50 vadem ( atu vadem sama dengan 182 cm) yang berlokasi di sebelah timur Muara Ciliwung. Tanah inilah yang menjadi cikal bakal hunian dan daerah kekuasaan VOC di tanah Jawa dan menjadi cikal bakal Kota Batavia. Di lokasi ini kemudian didirikan bangunan batu berlantai dua sebagai tempat tinggal, kantor dan sekaligus gudang. Pieter Both juga berhasil mengadakan perjanjian dan menanamkan pengaruhnya di Maluku dan berhasil mendirikan pos perdagangan di Ambon. 
b.      VOC Merajalela
VOC semakin merajalela Pada tahun 1614 Pieter Both digantikan oleh Gubernur Jenderal Gerard Reynst (1614-1615). Baru berjalan satu tahun ia digantikan gubernur jenderal yang baru yakni Laurens Reael (1615-1619). Pada masa jabatan Laurens Reael ini berhasil dibangun Gedung Mauritius yang berlokasi di tepi Sungai Ciliwung. Orang-orang Belanda yang tergabung dalam VOC itu memang cerdik. Pada awalnya mereka bersikap baik dengan rakyat. Hubungan dagang dengan kerajaan-kerajaan yang ada di Nusantara juga berjalan lancar. Bahkan seperti telah djelaskan di atas, orang-orang Belanda di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Pieter Both diizinkan oleh Pangeran Wijayakrama untuk membangun tempat tinggal dan loji di Jayakarta. Sikap baik rakyat dan para penguasa setempat ini dimanfaatkan oleh VOC untuk semakin memperkuat kedudukannya di Nusantara. Lama kelamaan orang-orang Belanda mulai menampakkan sikap congkak, dan sombong. Setelah merasakan nikmatnya tinggal di Nusantara dan menikmati keuntungannya yang melimpah dalam berdagang, Belanda semakin bernafsu ingin menguasai dan kadang-kadang melakukan paksaan dan kekerasan. Hal ini telah menimbulkan kebencian rakyat dan para penguasa lokal.
Oleh karena itu, pada tahun 1618 Sultan Banten yang dibantu tentara Inggris di bawah Laksamana Thomas Dale berhasil mengusir VOC dari Jayakarta. Orang-orang VOC kemudian menyingkir ke Maluku. Setelah VOC hengkang dari Jayakarta pasukan Banten pada awal tahun 1619 juga mengusir Inggris dari Jayakarta. Dengan demikian Jayakarta sepenuhnya dapat dikendalikan oleh Kesultanan Banten. Tahun 1619 Gubernur Jenderal VOC Laurens Reael digantikan oleh Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen (J.P. Coen). J.P. Coen dikenal gubernur jenderal yang berani dan kejam serta ambisius. Oleh karena itu, merasa bangsanya dipermalukan pasukan Banten dan Inggris di Jayakarta, maka J.P. Coen mempersiapkan pasukan untuk menyerang Jayakarta. Armada angkatan laut dengan 18 kapal perangnya mengepung Jayakarta. Ternyata dalam waktu singkat Jayakarta dapat diduduki VOC. Kota Jayakarta kemudian dibumihanguskan oleh J.P. Coen pada tanggal 30 Mei 1619. Di atas puingpuing kota Jayakarta itulah dibangun kota baru bergaya kota dan bangunan di Belanda. Kota baru itu dinamakan Batavia sebagai pengganti nama Jayakarta.
J.P. Coen adalah Gubernur Jenderal VOC yang keempat dan keenam. Siapa gubernur jenderal yang kelima. Mengapa J.P. Coen menamakan kota itu Batavia? Adakah kaitan nama Batavia dengan Betawi? Kalau ada kaitannya bagaimana penjelasannya. Kalau tidak ada kaitannya, dari mana sebenarnya asal usul kata Betawi itu? J.P. Coen adalah gubernur jenderal yang sangat bernafsu untuk memaksakan monopoli. Ia juga dikenal sebagai peletak dasar penjajahan VOC di Indonesia. Disertai dengan sikap congkak dan tindakan yang kejam, J.P.Coen berusaha meningkatkan eksploitasi kekayaan bumi Nusantara. Cara-cara VOC untuk meningkatkan eksploitasi kekayaan alam dilakukan antara lain dengan: 1. Merebut pasaran produksi pertanian, biasanya dengan memaksakan monopoli, seperti monopoli rempah-rempah di Maluku. 2. Tidak ikut aktif secara langsung dalam kegiatan produksi hasil pertanian.
Cara memproduksi hasil pertanian dibiarkan berada di tangan kaum Pribumi, tetapi yang penting VOC dapat memperoleh hasil-hasil pertanian itu dengan mudah, sekalipun harus dengan paksaan. 3. VOC sementara cukup menduduki tempat-tempat yang strategis. 4. VOC melakukan campur tangan terhadap kerajaan-kerajaan di Nusantara, terutama menyangkut usaha pengumpulan hasil bumi dan pelaksanaan monopoli. Dalam kaitan ini VOC memiliki daya tawar yang kuat, sehingga dapat menentukan harga. 5. Lembaga-lembaga pemerintahan tradisional/kerajaan masih tetap dipertahankan dengan harapan bisa dipengaruhi/dapat diperalat, kalau tidak mau baru diperangi. Setelah berhasil membangun Batavia dan meletakkan dasar-dasar penjajahan di Nusantara, pada tahun 1623 J.P. Coen kembali ke negari Belanda. Ia menyerahkan kekuasaannya kepada Pieter de Carpentier. Tetapi oleh pimpinan VOC di Belanda, J.P. Coen diminta kembali ke Batavia. Akhirnya pada tahun 1627 J.P. Coen tiba di Batavia dan diangkat kembali sebagai Gubernur Jenderal untuk jabatan yang kedua kalinya. Pada masa jabatan yang kedua inilah terjadi serangan tentara Mataram di bawah Sultan Agung ke Batavia.
Batavia senantiasa memiliki posisi yang strategis bagi VOC. Semua kebijakan dan tindakan VOC di kawasan Asia dikendalikan dari markas besar VOC di Batavia. Di samping itu Batavia juga terletak pada persimpangan atau menjadi penghubung jalur perdagangan internasional. Batavia menghubungkan perdagangan di Nusantara bagian barat dengan Malaka, India, kemudian juga menghubungkan dengan Nusantara bagian timur. Apalagi Nusantara bagian timur ini menjadi daerah penghasil rempah-rempah yang utama, maka posisi Batavia yang berada di tengah-tengah itu menjadi semakin strategis dalam perdagangan rempah-rempah. » Tahukah kamu, apa yang dimaksud politik devide et impera, bagaimana praktiknya yang dilakukan VOC, sehingga daerah kekuasaan VOC bertambah luas. Jelaskan secara logis dan sistematis! VOC semakin serakah dan bernafsu untuk menguasai Nusantara yang kaya rempah-rempah ini. Tindakan intervensi politik terhadap kerajaan-kerajaan di Nusantara dan pemaksaan monopoli perdagangan terus dilakukan. Politik devide et impera dan berbagai tipu daya juga dilaksanakan demi mendapatkan kekuasaan dan keuntungan sebesar-besarnya. Sebagai contoh, Mataram yang merupakan kerajaan kuat di Jawa akhirnya juga dapat dikendalikan secara penuh oleh VOC.
Hal ini terjadi setelah dengan tipu muslihat VOC, Raja Pakubuwana II yang sedang dalam keadaan sakit keras dipaksa untuk menandatangani naskah penyerahan kekuasaan Kerajaan Mataram kepada VOC pada tahun 1749. Tidak hanya kerajaan-kerajaan di Jawa, kerajaan-kerajaan di luar Jawa berusaha ditaklukkan. Untuk memperkokoh kedudukannya di Indonesia bagian barat dan memperluas pengaruhnya di Sumatera, VOC berhasil menguasai Malaka setelah mengalahkan saingannya, Portugis pada tahun 1641. Berikutnya VOC berusaha meluaskan pengaruhnya ke Aceh. Kerajaan Makassar di bawah Sultan Hasanuddin yang tersohor di Indonesia bagian timur juga berhasil dikalahkan setelah terjadi Perjanjian Bongaya tahun 1667. Dari Makasar VOC juga berhasil memaksakan kontrak dan monopoli perdagangan dengan Raja Sulaiman dari Kalimantan Selatan. Sementara jauh sebelum itu yakni tahun 1605 VOC sudah berhasil mengusir Portugis dari Ambon. VOC menjadi berjaya setelah berhasil melakukan monopoli perdagangan rempah-rempah di Kepulauan Maluku. Untuk mengendalikan pelaksanaan monopoli di kawasan ini dilaksanakan Pelayaran Hongi. » Apa yang dimaksud dengan Pelayaran Hongi? Bagaimana pelaksanannya sehingga keuntungan tetap jatuh di tangan VOC? Coba jelaskan!
Pengaruh dan kekuasaan VOC semakin meluas. Untuk memperkuat kebijakan monopoli ini di setiap daerah yang dipandang strategis armada VOC diperkuat. Benteng-benteng pertahanan dibangun. Sebagai contoh Benteng Doorstede dibangun di Saparua, Benteng Nasau di Banda, di Ambon sudah ada Benteng Victoria, Benteng Oranye di Ternate, dan Benteng Rotterdam di Makasar. Dalam rangka memperluas pengaruh dan kekuasaannya itu, ternyata perhatian VOC juga sampai ke Irian/Papua yang dikenal sebagai wilayah yang masih tertutup dengan hutan belantara yang begitu luas. Penduduknya juga masih bersahaja dan primitif. Orang Belanda yang pertama kali sampai ke Irian adalah Willem Janz. Bersama armandanya rombongan Willem Janz menaiki Kapal Duyke dan berhasil memasuki tanah Irian pada tahun 1606. Willem Janz ingin mencari kebun tanaman rempah-rempah. Tahun 1616- 1617 Le Maire dan William Schouten mengadakan survei di daerah pantai timur laut Irian dan menemukan Kepulauan Admiralty bahkan sampai ke New Ireland. Dengan penemuan ini maka nama William diabadikan sebagai nama kepulauan, Kepulauan Schouten. Pada waktu orang-orang Belanda sangat memerlukan bantuan budak, maka banyak diambil dari orang-orang Irian. Pengaruh VOC di Irian semakin kuat. Bahkan pada tahun 1667, Pulaupulau yang termasuk wilayah Irian yang semula berada di bawah kekuasaan
Kerajaan Tidore sudah berpindah tangan menjadi daerah kekuasaan VOC. Dengan demikian daerah pengaruh dan kekuasaan VOC sudah meluas di seluruh Nusantara. » Tahukah kamu apa yang dimaksud kolonialisme dan apa itu imperialisme? Coba jelaskan! (Ingat kata kunci: kolonialisme berasal dari kata colonia dan imperialism berasal dari kata imperate). Memahami uraian di atas, jelas bahwa VOC yang merupakan kongsi dagang itu berangkat dari usaha mencari untung kemudian dapat menanamkan pengaruh bahkan kekuasaannya di Nusantara. Fenomena ini juga terjadi pada kongsi dagang milik bangsa Eropa yang lain. Artinya, untuk memperkokoh tindakan monopoli dan memperbesar keuntungannya orang-orang Eropa itu harus memperbanyak daerah yang dikuasai (daerah koloninya). Tidak hanya daerah yang dikuasai secara ekonomi, kongsi dagang itu juga ingin mengendalikan secara politik atau memerintah daerah tersebut.
Bercokollah kemudian kekuatan kolonialisme dan imperialisme. Dalam praktiknya, antara kolonialisme dan imperialisme sulit untuk dipisahkan. Kolonialisme merupakan bentuk pengekalan imperialisme (Taufik Abdullah dan A.B. Lapian (ed), 2012). Muara kedua paham itu adalah penjajahan dari negara yang satu terhadap daerah atau bangsa yang lain. Sistem inilah yang umumnya diterapkan bangsa-bangsa Eropa yang datang di Kepulauan Nusantara, baik Portugis, Spanyol, Inggris maupun Belanda. Berangkat dari motivasi untuk memperbaiki taraf kehidupan ekonomi kemudian meningkat menjadi nafsu untuk menguasai dan mengeruk kekayaan dan keuntungan sebanyak-banyaknya dari daerah koloni untuk kejayaan bangsanya sendiri. Pihak atau bangsa lain dipandang sebagai musuh dan harus disingkirkan. Sifat keangkuhan dan keserakahan telah menghiasi perilaku kaum penjajah. Inilah sifat-sifat yang sangat dibenci dan tidak diridhoi oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Demikian halnya dengan VOC, tidak sekedar menjadi sebuah kongsi dagang yang berusaha untuk mencari untung tetapi juga ingin menanamkan kekuasaannya di Nusantara. VOC dengan hak-hak dan kewenangan yang diberikan pemerintah dan parlemen Belanda telah melakukan penjajahan dan menguatkan akar kolonialisme dan imperialisme di Nusantara. Melalui cara-cara pemaksaan monopoli perdagangan, politik memecah belah serta tipu muslihat yang sering disertai tindak peperangan dan kekerasan, semakin memperluas daerah kekuasaan dan memperkokoh kemaharajaan VOC. Sekali lagi tindak keserakahan dan kekerasan yang dilakukan oleh VOC itu menunjukkan mereka tidak mau bersyukur atas karunia yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, wajar kalau timbul perlawanan dari berbagai daerah misalnya dari Aceh, Banten, Demak, Mataram, Banjar, Makasar, dan Maluku.
c.       VOC Menuju Kebangkrutan
Pada abad ke-17 hingga awal abad ke-18, VOC mengalami puncak kejayaan. Penguasa dan kerajaan-kerajaan lokal berhasil diungguli. Kerajaan-kerajaan itu sudah menjadi bawahan dan pelayan kepentingan VOC. Jalur perdagangan yang dikendalikan VOC menyebar luas membentang dari Amsterdam, Tanjung Harapan, India sampai Irian/Papua. Keuntungan perdagangan rempahrempah juga melimpah. Namun di balik itu ada persoalan-persoalan yang bermunculan. Semakin banyak daerah yang dikuasai ternyata juga membuat pengelolaan semakin kompleks. Semakin luas daerahnya, pengawasan juga semakin sulit. Kota Batavia semakin ramai dan semakin padat. Orang-orang timur asing seperti Cina dan Jepang diizinkan tinggal di Batavia. Sebagai pusat pemerintahan VOC, Batavia juga semakin dibanjiri penduduk, sehingga tidak jarang menimbulkan masalah-masalah sosial. Pada tahun 1749 terjadi perubahan yang mendasar dalam lembaga kepengurusan VOC. Pada tanggal 27 Maret 1749, Parlemen Belanda mengeluarkan UU yang menetapkan bahwa Raja Willem IV sebagai penguasa tertinggi VOC. Dengan demikian, anggota pengurus “Dewan Tujuh Belas” yang semula dipilih oleh parlemen dan provinsi pemegang saham (kecuali Provinsi Holland), kemudian sepenuhnya menjadi tanggung jawab Raja. Raja juga menjadi panglima tertinggi tentara VOC. Dengan demikian VOC berada di bawah kekuasaan raja. Pengurus VOC mulai akrab dengan pemerintah Belanda.
Kepentingan pemegang saham menjadi terabaikan. Pengurus tidak lagi berpikir memajukan usaha perdagangannya, tetapi berpikir untuk memperkaya diri. VOC sebagai kongsi dagang swasta keuntunganya semakin merosot. Bahkan tercatat pada tahun 1673 VOC tidak mampu membayar dividen. Kas VOC juga merosot tajam karena serangkaian perang yang telah dilakukan VOC dan beban hutang pun tidak terelakkan. Sementara itu para pejabat VOC juga semakin feodal. Pada tanggal 24 Juni 1719 Gubernur Jenderal Henricus Zwaardecroon mengeluarkan ordonansi untuk mengatur secara rinci cara penghormatan terhadap gubernur jenderal, kepada Dewan Hindia beserta isteri dan anak-anaknya. Misalnya, semua orang harus turun dari kendaraan bila berpapasan dengan para pejabat tinggi tersebut, warga keturunan Eropa harus menundukkan kepala, dan warga bukan orang Eropa harus menyembah. Kemudian Gubernur Jenderal Jacob Mosel juga mengeluarkan ordonansi baru tahun 1754.
Ordonansi ini mengatur kendaraan kebesaran. Misalnya kereta ditarik enam ekor kuda, hiasan berwarna emas dan kusir orang Eropa untuk kereta kebesaran gubernur jenderal, sedang untuk anggota dewan hindia kuda yang menarik kereta hanya empat ekor dan hiasannya warna perak. Nampaknya para pejabat VOC sudah gila hormat dan ingin berfoya-foya. Sudah barang tentu ini juga membebani anggaran. Posisi jabatan dan berbagai simbol kehormatan tersebut tidaklah lengkap tanpa hadiah dan upeti. Sistem upeti ini ternyata juga terjadi di kalangan para pejabat, dari pejabat di bawahnya kepada pejabat yang lebih tinggi. Hal ini semua terkait dengan mekanisme pergantian jabatan di tubuh organisasi VOC. Semua bermuatan korupsi. Gubernur Jenderal Van Hoorn konon menumpuk harta sampai 10 juta gulden ketika kembali ke Belanda pada tahun 1709, sementara gaji resminya hanya sekitar 700 gulden sebulan. Gubernur Maluku berhasil mengumpulkan kekayaan 20-30 ribu gulden dalam waktu 4-5 tahun, dengan gaji sebesar 150 gulden per bulan. Untuk menjadi karyawan VOC juga harus dengan menyogok. Pengurus VOC di Belanda memasang tarif sebesar f 3.500,- bagi yang ingin menjadi pegawai onderkoopman (pada hal gaji resmi per bulan sebagai onderkoopman hanya f.40,-), untuk menjadi kapitein harus menyogok f.2000,- dan begitu seterusnya yang semua telah merugikan uang lembaga.
Demikianlah para pejabat VOC terjangkit penyakit korupsi karena ingin kehormatan dan kemewahan sesaat. Beban utang VOC semakin berat, sehingga akhirnya VOC sendiri bangkrut. Bahkan ada sebuah ungkapan, VOC kepanjangan dari Vergaan Onder Corruptie (tenggelam karena korupsi) (Taufik Abdullah dan A.B. Lapian (ed), 2012). » Bagaimana penilaianmu terkait dengan korupsi yang dilakukan para pejabat VOC, bagaimana kalau dibandingkan dengan keadaan di Indonesia saat ini? Dalam kondisi bangkrut VOC tidak dapat berbuat banyak. Menurut penilaian pemerintah keberadaan VOC sebagai kongsi dagang yang menjalankan roda pemerintahan di negeri jajahan tidak dapat dilanjutkan lagi. VOC telah bangkrut, oleh karena itu, pada tanggal 31 Desember 1799 VOC dinyatakan bubar. Semua utang piutang dan segala milik VOC diambil alih oleh pemerintah. Pada waktu itu sebagai Gubernur Jendral VOC yang terakhir Van Overstraten masih harus bertanggung jawab tentang keadaan di Hindia Belanda. Ia bertugas mempertahankan Jawa dari serangan Inggris.

Referensi :
http://siapbelajar.com/wp-content/uploads/2014/09/Sejarah-SMA-Kelas-11-Buku-Siswa-Kur2013-A-Se1.pdf

3.      SISTEM TANAM PAKSA
a.      Lahirnya Sistem Tanam Paksa Kopi Di Parahiyangan
Sistem tanam paksa di Indonesia selalu di kaitkan dengan Gubernur Jenderal Johannes Van Den Bosch, yang dimana sebagai penggagas sistem tanam paksa di Indonesia. Sistem tanam paksa tersebut dijalankan dari tahun 1830-1870. Namun bila kita mengacu pada pendapat Burger yang mengatakan bahwa “penanaman kopi yang mulai dilakukan oleh kompeni dalam abad ke 18 di Parahiyangan” (Burger, 1962, hal. 101). Disini Burger mengatakan bahwa sistem tanam paksa di Indonesia sudah ada sejak abad ke18, dan yang ditanam disana bukanlah tebu, nila atau indigo melainkan kopi. Dikarenakan kopi pada waktu itu menjadi perimadona dunia dan harganya sangat mahal. Terlepas daripada itu ditambah pula pada waktu itu Pemerintah Belanda mengalami defisit keuangan yang diakibatkan oleh perang Diponegoro 1825-1830, perang kemerdekaan Belgia 1830 dan ditambah pulautang luar negeri Belanda yang amat besar. Dan oleh sebab faktor itu akhirnya pemerintah Belanda pun mengeluarkan kebijakan untuk mengirimkan Gubernur Jendral Baru ke Indonesia untuk menggantikan Gubernut Jendral Sebelumnya.
Gubernur Jendral baru yaitu Johannes Van Den Bosch dansetelah datang ke Indonesia. Dia mengeluarkan kebijakan yaitu yang dikenal dengan sistem tanam paksa atau dalam bahasa Belanda disebut Cultuurstelsel. Dan salah satunya yaitu melanjutkan sistem tanam paksa yang sudah ada di Parahiyangan, yaitu sistem tanam paksa kopi. Kopi yang ditanam di Parahiyangan berasal dari India Selatan dan bawa oleh pemerintah kolonial keBatavia dan disebarkan ke daerah Parahiyangan. Inilah yang menyebabkan lahirnya sistem tanam paksa kopi di Parahiyangan.
b.      Pelaksanaan, Proses Produksi Dan Pendistribusian Kopi
“Dalam pelaksanaanya kebun-kebun kopi dibuat diatas tanah-tanah liar dengan mempergunakan pekerja-pekerja wajib” (Burger, 1962, hal. 101). Namun dalam kenyataannya tanaman kopi tidak hanya ditanam pada tanah-tanah liar saja, namun akibat dari pemerintah Belanda yang barambisi ingin menambah hasil produksi tanaman kopi, akhirnya penduduk yang memiliki lahanpun diwajibkan untuk menyisihkan seperlima tanahnya untuk ditanami kopi. Dan bagi penduduk yang tidak memiliki lahan diwajibkan untuk bekerja pada lahan kopi tersebut. Dalam pelaksanaan tanam paksa kopi di parahiyangan menurut Profesor Jan Breman, Guru Besar Emiritus pada Universiteit Van Amsterdam, menyatakan ‘sistem tanam paksa kopi di Parahiyangan dipimpin oleh para bangsawan setempat yaitu para Menak danSentana, yaitu adalah bangsawan Sunda yang lebih rendah.’(Wibisono, 2010).
Akibat dikerahkannya bangsawan lokal tersebut beban petani sundapun semakin berat, dikarenakan selain harus menyerahkan hasil tanaman kopi pada pemerintah Belanda petanipun harus menyerahkan hasil panen padi mereka pada bangsawan setempat. Itu merupakan semacam gaji bagi para Menak dan Sentana. Dalam pelaksanaan sistem tanam paksa kopi ini banyak penyimpangan-penyimpangan diantaranya; tanah petani yang dijadikan lahan penanaman kopi melebihi seperlima, tanah yang seharusnya dijadikan lahan penanaman kopi bebas pajak namun tetap dikenakan pajak, para pekerja yang seharusnya bekerja tidak melebihi masa tanam padi namun melibihi sehingga sangat membebani petani, kegagalan panen yang seharusnya ditanggung pemerintah namun ditanggung oleh rakyat, kelebihan hasil pertanian yang seharusnya diperuntukan untuk rakyat namun diambil oleh pemerintah. Ditambah pula pada waktu petani Sunda hanya boleh berada di dua tempat yaitu desanya atau kebun kopi. Hukuman yang berlaku pun sangat keras bagi pekerja yang malas akan mendapat hukuman cambuk rotan atau pengasingan ke daerah lain. Dan disini penduduk semakin terjepit mereka hanya dijadikan budak dan ditindas oleh pemerintah Belanda. Dalam proses pendistribusiannya kopi dari hasil tanam paksa yang dilakukan di Parahiyangan dari berbagai sumber yang saya dapatkan yaitu mula-mula hasil panen dikumpulkan oleh para petani, lalu dibawan kepara para bangsawan setempat atau para Menak dan Sentana, lalu dari para bangsawan tersebut di berikan pada pemerintah kolonial untuk dikumpulkan di gudang dan selanjutnya di bawa ke Batavia untuk di kirim ke Amsterdam yaitu disana ada semacam perusahaan yang mengurus lelang produk-produk tanam paksa seperti kopi dan nila dan lalu kopi dijual ke benua Amerika atau ke negara lain di Eropa.
c.       Faktor-Foktor Yang Mengakibatkan Sistem Tanam Paksa Kopi Berakhir
Menurut pendapat Profesor Jan Breman dalam bukunya menyatakan ‘tanam paksa kopi dihapus akibat perlawanan dari para petani Sunda, dan inilah faktor yang mengakibatkan tanam paksa kopi di cabut dan bukan pertimbangan pertimbangan lain yang dilakukan oleh penguasa kolonial.’ (Wibisono, 2010). Dikarenakan banyaknya penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan sistem tanam paksa kopi di Parahiyangan seperti yang telah di jelaskan dalam bagian kedua banyak hak-hak petani yang yang dibatasi oleh pemerintah kolonial dan timbulnya bencana kelaparan akibat berkurangnya lahan penanaman untuk padi yang digantikan dengan tanaman kopi, timbulnya harga-harga yang melambung, lalu timbulnya bencana kemeskinan dan diperparah oleh wabah penyakit serta kematian yang timbul akibat kekerasan dalam tanam paksa menyebabkan terjadinya perlawan dari para petani Sunda, dan dari sini para petani Sunda mulai mulai melakukan perlawanan-perlawan serta membenci dan menolak menanam kopi. Dan akhirnya pada tahun 1850 budi daya kopi dari Parahiyangan tidak lagi bisa memenuhi permintaan pasar dunia. Dan terlepas dari faktor-faktor diatas terdapat pula kritik-kritik dari berbagai golongan diantaranya datang dari kaum liberalis yang menyatakan bahwa tanam paksa tidak sesuai dengan ekonomi liberal atau eksploitasi berlebih terhadap Inlander (pribumi), lalu dari jurnalis Belanda E.S.W.Roodra Van Eisingan kerap menyuarakan pembebasan bagi rakyat Nusantara, lalu dari Baron Van Hoevel Ia sering melancarkan kecaman terhadap pelaksanaan tanam paksa, lalu dari Eduard Douwes Dekker mengarang buku Max Havelaar 1860. Dalam bukunya Ia mengenakan nama samaran Maltatuli, dalam bukunya menceritakan kondisi masyarakat petani yang menderita akibat tanam paksa dan tekanan pemerintah kolonial. Dan terakhir adalah tulisan C. Th Van Deventer dalam bukunya Een Eereschuld, yang membeberkan kemiskinan di tanah jajahan belanda. Akibat dari kritik-kritik tersebut akhirnya pemerintah Belanda secara berangsur-angsur mulai menghapuskan tanam paksa kopi dan akhirnya pada 1870 sistem tanam kopi di Parahiangan dihentikan oleh pemerintah kolonial Belanda.

Referensi :
https://www.academia.edu/3841775/Tanam_Paksa_Kopi_Di_Parahiyangan_1830_1870

4.      SISTEM EKONOMI INDONESIA
4.1  PENGERTIAN SISTEM EKONOMI
Sistem ekonomi merupakan cabang ilmu ekonomi yang membahas persoalan pengambilan keputusan dalam tata susunan organisasi ekonomi untuk menjawab persoalan-persoalan ekonomi untuk mewujudkan tujuan nasional  suatu negara. Menurut Dumairy (1966), Sistem ekonomi adalah suatu sistem yang mengatur serta menjalin hubungan ekonomi antarmanusia dengan seperangkat kelembagaan dalam suat tatanan kehidupan, selanjutnya dikatakannya pula bahwa suatu sistem ekonomi tidaklah harus berdiri sendiri, tetapi berkaitan dengan falsafah, padangan dan pola hidup masyarakat tempatnya berpijak. Sistem ekonomi sesungguhnya merupakan salah satu unsur saja dalam suatu supra sistem kehidupan masyarakat. Sistem ekonomi merupakan bagian dari kesatuan ideologi kehidupan masyarakat di suatu negara.
SISTEM EKONOMI
1.      Sistem Ekonomi Kapitalis
Dalam Sanusi, sistem ekonomi kapitalis adalah suatu sistem ekonomi dimana kekayaan yang produktif terutama dimiliki secara pribadi dan produksi terutama dilakukan untuk dijual. Adapun tujuan pemilikan secara pribadi ialah untuk memperoleh suatu keuntungan/laba yang cukup besar dari hasil dari menggunakan kekayaan yang produktif. Jelas sekali bahwa motif mencari keuntungan/laba, bersama sama dengan lembaga warisan dipupuk oleh hukum perjanjian sebagai mesin kapitalisme yang besar. Terdapat enam azas yang dilihat sebagai ciri dari sistem ekonomi kapitalis, yaitu sebagai berikut :
a.       Hak milik pribadi
b.      Kebebasan berusaha dan kebebasan memilih
c.       Motif kepentingan diri sendiri
d.      Persaingan
e.       Harga ditentukan oleh mekanisme pasar 
f.       Peranan terbatas pemerintah

Kelebihan sistem ekonomi kapitalis :
a.  Lebih efisien dalam memanfaatkan sumber-sumber daya dan distribusi barang- barang.
b. Kreativitas masyarakat menjadi tinggi karena adanya kebebasan melakukansegala hal yang terbaik dirinya.
c.       Pengawasan politik dan sosial minimal, karena tenaga waktu dan biaya yang diperlukan lebih kecil.

Kelemahan-kelemahan sistem ekonomi kapitalis :
a.  Tidak ada persaingan sempurna. Yang ada persaingan tidak sempurna dan persaingan monopolistik.
b. Sistem harga gagal mengalokasikan sumber-sumber secara efisien, karenaadanya faktor-faktor eksternalitas (tidak memperhitungkan yang menekan upah buruh dan lain-lain).
c.     Munculnya pemikiran-pemikiran baru yang lebih terpelajar dan lebih rasional terhadap kehidupan manusia dan masyarakat
d.      Adanya tuntutan-tuntutan berlakunya demokrasi dari hasil Revolusi Perancis.

4.2  SISTEM EKONOMI INDONESIA
Sistem perekonomian yang diterapkan di Indonesia, kapitalisme, sosialisme, ataugabungan dari kedua system tersebut ? untuk menjawab pertanyaan ini, Dumairy (1996) menegaskan sebagai berikut. “ditinjau berdasarkan sistem pemilikan sumber daya ekonomi atau faktor-faktor produksi, tak terdapat alasan untuk menyatakan bahwa sistem ekonomi kita adalah kapitalistis. Sama halnya, tak pula cukup argmentasi untuk mengatakan, bahwa kita menganut sistem ekonomi sosialis. Indonesia mengakui pemilikan individual atas faktor-faktor produksi, kecuali untuk sumber daya-sumber daya yang menguasai hajat hidup orang banyak, dikuasai oleh Negara. Hal ini diatur dengan tegas oleh pasal 33 UUD 1945. Jadi, secara constitutional, sistem ekonomi Indonesia bukan kapitalisme dan bukan pula sosialisme. Perbedaan antara sistem ekonomi kapitalisme atau sistem ekonomi sosialisme dengan sisitem ekonomi yang dianut oleh Indonesia adalah pada kedua makna yang terkandung dalam keadilan sosial yang merupakan sila ke lima Pancasila, yaitu prinsip pembagian pendapatan yang adil dan prinsip demokrasi ekonomi. Kedua prinsip ini sebenarnya merupakan pencerminan sistem ekonomi pancasil, yang jelas jelas menentang sistem individualism liberal atau free fight liberalism (sistem ekonomi kapitalisme ekastern), dan sistem komando (sistem ekonomi sosialisme ekstern) (Tambunan, 2006b).
Namun dalam praktiknya, sistem ekonomi Indonesia dalam beberapa dekade belakangan ini sejak era Orde Baru cenderung semakin kapitalis dan sangat berbeda dengan era orde lama atau era Soekarmo. Soekarno sebagai bapak proklamator kemerdekaan Indonesia, sangat membenci pemikiran pemikiran Barat, termasuk sistem ekonomi liberal/kapitalisme. Soekarno menganggap sistem kapitalisme liberalism selama penjaajahan belanda telah benar benar menyengsarakan rakyat Indonesia, sehingga aliran ini harus dibenci dan diusir dari Indonesia. Menurut Soekarno untuk menusir dan mengimbangi kekuatan ekonomi Barat berlandaskan kapitalisme-liberalisme, Indonesia harus menerapkan pemikiran dari Marhaenisme yaitu Marxisme. Tetapi pada tahun 1959 paham liberalism kapitalisme secara konstitusional dirolak dengan diberlakukannya UUD1945 sebagai landasan sistem ekonomi nasional. Namun demikian dalam praktiknya Soekarno menerapakan sistem ekonomi komando seperti yang diterapkan khususnya di Negara-Negara yang beralairan komunis, seperti Uni soviet (sekarang Rusia), Negara–Negara eropa timur (sekarang disebut Negara Negara transisi), dan Cina. Dengan sistem ini, semua renacana dan keputusan yang menyangkut pembangunan ekonomi, termasuk pemilihan industri yang akan dibangun, ditentukan sepenuhnya oleh pemerintah pusat (Tambunan,2006b). Dalam beberapa tahun belakangan ini, sistem ekonomi Indonesia cendrung semakin kapitalis dengan ke ikut sertaannya dalam upaya liberalisasi perdagangan internasional, biak dalam konteks perjanjian perdagangan bebas antara anggota asosiasi Negara-negara asia tenggara (ASEAN), yang dikenal dengan sebutan ASEAN FreeTrade Area atau AFTA, maupun dalam konteks kesepakatan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Dalam bidang investasi, juga semakin banyak sektor atau sub sektor yang terbuka bebas bagi penanaman modal asing (PMA). Selain itu, pemerintah dalam beberapa tahun belakangan ini sudah mengurangi berbagai subsidi, terutama subsidi, terutama subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang semakin memperkuat mekanisme pasar di dalam perekonomian nasional.

Referensi :
https://www.academia.edu/8197208/SISTEM_EKONOMI_INDONESIA

5.      ERA PENDUDUKAN JEPANG
5.1     Masuknya Jepang Ke Indonesia
Tentu, kalian masih ingat bahwa Jepang dengan mudah berhasil menguasai daerah-daerah Asia Timur dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Mengapa demikian? Karena:
1.     Jepang telah berhasil menghancurkan pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di Pearl Harbour, Hawaii pada tanggal 7 Desember 1941;
2. Negeri-negeri induk (Inggris, Perancis, dan Belanda) sedang menghadapi peperangan di Eropa melawan Jerman;
3.    Bangsa-bangsa di Asia sangat percaya dengan semboyan Jepang (Jepang pemimpin Asia, Jepang cahaya Asia, dan Jepang pelindung Asia) sehingga tidak memberi perlawanan. Bahkan, kehadiran Balatentara Jepang disambut dengan suka cita karena Jepang dianggap sebagai ‘saudara tua’ yang akan membebaskan bangsa-bangsa Asia dari belenggu penjajahan negara-negara Barat.

Secara resmi Jepang telah menguasai Indonesia sejak tanggal 8 Maret 1942, ketika Panglima Tertinggi Pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat di Kalijati, Bandung,. Jepang tanpa banyak menemui perlawanan yang berarti berhasil menduduki Indonesia. Bahkan, bangsa Indonesia menyambut kedatangan balatentara Jepang dengan perasaan senang, perasaan gembira karena akan membebaskan bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan bangsa Belanda.
Sebenarnya, semboyan Gerakan 3A dan pengakuan sebagai ‘saudara tua’ yang disampaikan Jepang merupakan tipu muslihat agar bangsa Indonesia dapat menerima kedatangan Balatentara Jepang. Pada awalnya, kedatangan pasukan Jepang disambut dengan hangat oleh bangsa Indonesia. Namun dalam kenyataannya, Jepang tidak jauh berbeda dengan negara imperialis lainnya. Jepang termasuk negara imperialis baru, seperti Jerman dan Italia. Sebagai negara imperialis baru, Jepang membutuhkan bahan-bahan mentah untuk memenuhi kebutuhan industrinya dan pasar bagi barangbarang industrinya. Oleh karena itu, daerah jajahan menjadi sangat penting artinya bagi kemajuan industri Jepang. Apalah arti kemajuan industri apabila tidak didukung dengan bahan mentah (baku) yang cukup dengan harga yang murah dan pasar barang hasil industri yang luas.
Dengan demikian, jelas bahwa tujuan kedatangan Balatentara Jepang ke Indonesia adalah untuk menanamkan kekuasaannya, untuk menjajah Indonesia. Artinya, semboyan Gerakan 3A dan pengakuan sebagai ‘saudara tua’ merupakan semboyan yang penuh kepalsuan. Hal itu dapat dibuktikan dari beberapa kenyataan yang terjadi selama pendudukan Balatentara Jepang di Indonesia. Bahkan, perlakuan pasukan Jepang lebih kejam sehingga bangsa Indonesia mengalami kesengsaraan.
Sumber-sumber ekonomi dikontrol secara ketat oleh pasukan Jepang untuk kepentingan peperangan dan industri Jepang, melalui berbagai cara berikut:
a.     Tidak sedikit para pemuda yang ditangkap dan dijadikan romusha. Romusha adalah tenaga kerja paksa yang diambil dari para pemuda dan petani untuk bekerja paksa pada proyek-proyek yang dikembangkan pemerintah pendudukan Jepang. Banyak rakyat kita yang meninggal ketika menjalankan romusha, karena umumnya mereka menderita kelaparan dan berbagai penyakit.
b.     Para petani diawasi secara ketat dan hasil-hasil pertanian harus diserahkan kepada pemerintah Balatentara Jepang.
c.  Hewan peliharaan penduduk dirampas secara paksa untuk dipotong guna memenuhi kebutuhan konsumsi perang.

5.2     Kebijakan Pemerintah Pendudukan Jepang
Setelah menduduki Indonesia Jepang mengambil berbagai kerbijakan. Kebijakan Pemerintah Balatentara Jepang, meliputi berbagai bidang, diantaranya;
a.      Bidang Ekonomi
1)   Perluasan areal persawahan. Setelah menduduki Indonesia, Jepang melihat bahwa produksi beras tidak akan mampu memenuhi kebutuhan. Oleh karena itu, perlu dilakukan perluasan areal persawahan guna meningkatkan produksi beras. Meskipun demikian produksi pangan antara tahun 1941-1944 terus menurun.
2)      Pengawasan pertanian dan perkebunan. Pelaksanaan pertanian diawasi secara ketat dengan tujuan untuk mengendalikan harga barang, terutama beras. Hasil pertanian diatur sebagai berikut: 40% untuk petani, 30% harus dijual kepada pemerintah Jepang dengan harga yang sangat murah, dan 30% harus diserahkan ke ‘lumbung desa’. Ketentuan itu sangat merugikan petani dan yang berani melakukan pelanggaran akan dihukum berat. Badan yang menangani masalah pelanggaran disebut Kempetai (Korps Polisi Militer), suatu badan yang sangat ditakuti rakyat.
Pengawasan terhadap produksi perkebunan dilakukan secara ketat. Jepang hanya mengizinkan dua jenis tanaman perkebunan yaitu karet dan kina. Kedua jenis tanaman itu berhubungan langsung dengan kepentingan perang. Sedangkan tembakau, teh, kopi harus dihentikan penanamannya karena hanya berhubungan dengan kenikmatan. Padahal, ketiga jenis tanaman itu sangat laku di pasaran dunia. Dengan demikian, kebijakan pemerintah Jepang di bidang ekonomi sangat merugikan rakyat. Pengerahan sumber daya ekonomi untuk kepentingan perang. Untuk menguasai hasil-hasil pertanian dan kekayaan penduduk, Jepang selalu berdalih bahwa untuk kepentingan perang. Setiap penduduk harus menyerahkan kekayaannya kepada pemerintah Jepang. Rakyat harus menyerahkan barang-barang berharga (emas dan berlian), hewan, bahan makanan kepada pemerintah Jepang. Untuk memperlancar usaha usahanya, Jepang membentuk Jawa Hokokai (Kebaktian Rakyat Jawa) dan Nogyo Kumiai (Koperasi Pertanian). Kebijakan-kebijakan pemerintah Jepang di bidang ekonomi telah mengakibatkan kehidupan rakyat Indonesia semakin sengsara dan penuh penderitaan. Penderitaan dan kesengsaraan rakyat Indonesia selama pendudukan Jepang lebih buruk apabila dibandingkan dengan penderitaan dan kesengsaraan pada masa penjajahan Belanda. Padahal, Jepang menduduki Indonesia hanya tiga setengah tahun, sedangkan Belanda menjajah Indonesia selama tiga setengah abad.
b.      Bidang Pemerintahan
Pada dasarnya pemerintahan pendudukan Jepang adalah pemerintahan militer yang sangat diktator. Untuk mengendalikan keadaan, pemerintahan dibagi menjadi beberapa bagian. Jawa dan Madura diperintah oleh Tentara ke 16 dengan pusatnya di Jakarta (dulu Batavia). Sumatera diperintah oleh Tentara ke 25 dengan pusatnya di Bukittinggi (Sumbar). Sedangkan Indonesia bagian Timur diperintah oleh Tentara ke 2 (Angkatan Laut) dengan pusatnya di Makasar (Sulsel). Pemerintahan Angkatan Darat disebut Gunseibu, dan pemerintahan Angkatan Laut disebut Minseibu. Masing-masing daerah dibagi menjadi beberapa wilayah yang lebih kecil. Pada awalnya, Jawa dibagi menjadi tiga provinsi (Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur) serta dua daerah istimewa, yaitu Yogyakarta dan Surakarta. Pembagian ini diang-gap tidak efektif sehingga dihapuskan. Akhirnya, Jawa dibagi menjadi 17 Karesidenan (Syu) dan diperintah oleh seorang Residen (Syucokan).
Keresidenan terdiri dari kotapraja (Syi), kabupaten (Ken), kawedanan atau distrik (Gun), kecamatan (Son), dan desa (Ku). Sumatera dibagi menjadi 10 karesidenan dan beberap sub-karesidenan (Bunsyu), distrik, dan kecamatan. Sedangkan daerah Indonesia Timur yang dikuasai Angkatan Laut Jepang dibagi menjadi tiga daerah kekuasaan, yaitu: Kalimantan, Sulawesi, dan Seram (Maluku dan Papua). Masing-masing daerah itu dibagi menjadi beberapa karesidenan, kabupaten, sub-kabupaten (Bunken), distrik, dan kecamatan. Pembagian daerah seperti di atas dimaksudkan agar semua daerah dapat diawasi dan dikendalikan untuk kepentingan pemerintah balatentara Jepang. Namun, untuk menjalankan pemerintahan yang efektif dibutuhkan jumlah personil (pegawai) yang banyak jumlahnya. Sedangkan jumlah orang Jepang yang ada di Indonesia tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan tenaga dalam bidang pemerintahan.
Untuk mengawai dan menjalankan pemerintahan secara efektif merupakan tantangan yang berat karena terbatasnya jumlah pegawai atau orang-orang yang dapat dipercaya untuk memegang jabatan penting dalam pemerintahan. Untuk mengatasi kekurangan jumlah pegawai, pemerintah Jepang dapat menempuh beberapa pilihan, di antaranya:
1.      Memanfaatkan orang-orang Belanda yang masih ada di Indonesia. Pilihan ini sangat tidak mungkin karena Jepang sedang menanamkan sikap anti Belanda di kalangan pen-duduk Indonesia.
2.      Menggunakan tenaga Timur Asing (Cina). Pilihan ini juga sangat berat karena Cina dianggap sebagai lawan politik Jepang yang paling berbahaya untuk mewujudkan cita-cita Jepang, yaitu membangun Asia Timur Raya.
3.      Memanfaatkan penduduk Indonesia. Pilihan ini dianggap yang paling realistik karena sesuai dengan semboyan ‘Jepang sebagai saudara tua’ yang ingin membebaskan suadara mudanya dari belenggu penjajahan bangsa Eropa. Di samping itu, pemakaian bangsa Indonesia sebagai dalih agar bangsa Indonesia benar-benar bersedia membantu untuk memenangkan perang yang sedang dilakukan Jepang.
Sebenarnya, pilihan-pilihan di atas sama-sama tidak menguntungkan. Akhirnya, dengan berbagai pertimbangan (bahkan terpaksa) Jepang memilih penduduk Indonesia untuk membantu menjalankan roda pemerintahan. Jepang pun dengan berat harus menyerahkan beberapa jabatan kepada orang Indonesia. Misalnya, Departemen Urusan Agama dipimpin oleh Prof. Husein Djajadiningrat, serta Mas Sutardjo Kartohadikusumo dan R.M.T.A. Surio sebagai Residen Jakarta dan Residen Bojonegoro. Di samping itu, beberapa tokoh nasional yang mendapat kepercayaan untuk ikut menjalankan roda pemerintahan adalah Ir. Soekarno, Mr. Suwandi, dr. Abdul Rasyid, Prof. Dr. Supomo, Mochtar bin Prabu Mangkunegoro, Mr. Muh, Yamin, Prawoto Sumodilogo, dan sebagainya. Bahkan, kesempatan untuk duduk dalam Badan Pertimbangan Pusat (Chuo Sangi In), semacam Volksraad pada zaman Belanda semakin terbuka.
Kesempatan untuk menduduki beberapa jabatan dalam pemerintahan Jepang dan menjalankan roda pemerintahan merupa-kan pengalaman yang berharga bagi bangsa Indonesia, terutama setelah Indonesia merdeka. Sebagai bangsa yang merdeka, bangsa Indonesia harus mampu menjalankan pemerintahan secara baik. Oleh karena itu, pengalaman pada masa pemerin-tahan Jepang merupakan modal yang sangat berguna karena bangsa Indonesia memiliki kemampuan untuk mengelola orga-nisasi besar seperti negara.
c.       Bidang militer
Sejak awal pendudukannya, Jepang selalu berusaha menarik hati bangsa Indonesia agar bersedia membantu pemerintah Jepang dalam usaha untuk memenangkan peperangan melawan Sekutu. Bangsa Indonesia hampir selalu dilibatkan dalam berbagai organisasi militer maupun organisasi semi militer. Beberapa organisasi militer yang dibentuk pemerintah Jepang, diantaranya:
1)      Heiho (pembantu prajurit Jepang) adalah kesatuan militer yang dibentuk oleh pemerintah Jepang yang beranggotakan para pemuda Indonesia. Heiho menjadi bagian Angkatan Darat maupun Angkatan Laut Jepang. Anggota Heiho mendapat latihan kemiliteran agar mampu menggantikan prajurit Jepang di dalam peperangan. Para anggota Heiho mendapat latihan untuk menggunakan senjata (senjata anti pesawat, tank, artileri medan, mengemudi, dan sebagainya). Namun, tidak ada satupun anggota Heiho yang berpangkat perwira. Pangkat perwira hanya dipeuntukkan bagi orang-orang Jepang. Para anggota Heiho mendapat latihan kemiliteran. Untuk itu, pemerin-tah Jepang menugaskan seksi khusus dari bagian intelejen untuk melatih para anggota Heiho. Latihan dipimpin oleh Letnan Yana-gawa dengan tujuan agar para pemuda Indonesia dapat melak-sanakan tugas intelejen.
2)      Pembela Tanah Air (PETA) dibentuk pada tanggal 3 Oktober 1943. Menjelang berakhirnya latihan kemiliteran angkatan ke 2, keluarlah surat perintah untuk membentuk PETA. Namun, Letjen Kamakici Harada memutuskan agar pembentukkan PETA bukan inisiatif pemerintah Jepang, melainkan inisiatif bangsa Indonesia. Untuk itu, dicarilah seorang putera Indonesia yang berjiwa nasionalis untuk memimpin PETA. Akhirnya, pemerintah Balatentara Jepang meminta Gatot Mangunpraja (seorang nasionalis yang bersimpati terhadap Jepang) untuk menulis permohonan pembentukkan tentara PETA. Surat permohonan telah dikirim pada tanggal 7 September 1943 dan permohonan itu dikabulkan dengan dikeluarkan peraturan yang disebut Osamu Seirei No. 44, tanggal 3 Oktober 1943. Pembentukkan PETA, ternyata menarik perhatian para pemuda Indonesia, terutama yang telah mendapat pendidikan sekolah menengah dan para anggota Seinendan. Keanggotaan PETA dibedakan dalam beberapa pangkat yang berbeda (sebenarnya bukan pangkat, tetapi nama jabatan). Ada lima macam pangkat, yaitu: (1) Daidanco (Komandan Batalyon), (2) Cudanco (Komandan Kompi), (3) Shudanco (Komandan Peleton), (4) Budanco (Komanda Regu), dan (5) Giyuhei (Prajurit Sukarela).
Daidanco (Komandan Batalyon) dipilih dari tokoh-tokoh masyarakat yang terkemuka seperti pegawai pemerintah, pemimpin agama, pamong praja, para politikus, penegak hukum, dan sebagainya. Cudanco (Komandan Kompi) dipilih dari mereka yang bekerja, tetapi belum memiliki jabatan yang tinggi seperti para guru, juru tulis, dan sebagainya. Shudanco (Komandan Peleton) biasanya dipilih dari para pelajar sekolah lanjutan pertama dan atas. Budanco (Komanda Regu) dan Giyuhei (Prajurit Sukarela) dipilih dari para pelajar sekolah dasar. Para pemuda yang menjadi anggota PETA dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu; (1) mereka yang menjadi anggota PETA dengan semangat yang tinggi, (2) mereka yang menjadi anggota PETA karena dipengaruhi orang lain, dan (3) mereka yang menjadi anggota PETA dengan perasaan acuh tak acuh. Di antara mereka ada yang beranggapan bahwa kemenangan Jepang dalam Perang Pasifik akan membawa perubahan hidup bangsa Indonesia, yaitu sebagai bangsa yang merdeka. Di samping itu, ada yang percaya pada ramalan Joyoboyo bahwa Jepang akan meninggalkan Indonesia dan Indonesia akan menjadi negara yang merdeka. Untuk itu, Indonesia memerlukan tentara untuk mengamankan wilayahnya. Para anggota PETA mendapat pendidikan militer di Bogor pada lembaga Jawa Boei Giyugun Kanbu Renseitai (Korps Latihan Pemimpin Tentara Sukarela Pembela Tanah Air di Jawa). Nama lembaga itu kemudian berubah menjadi Jawa Boei Giyugun Kanbu Kyoikutai (Korps Pendidikan Pemimpin Tentara Sukarela Pembela Tanah Air di Jawa). Setelah mendapat pendi-dikan, mereka ditempatkan pada daidan-daidan yang tersebar di Jawa, Madura, dan Bali. Dalam perkembangannya, beberapa anggota PETA mulai kecewa terhadap pemerintah Balatentara Jepang. Kekecewaan itu berujung pada meletusnya pemberontakkan. Pemberontakkan PETA terbesar terjadi di Blitar pada tanggal 14 Februari 1945 yang djipimpin oleh Supriyadi. Pemberontakkan itu dipicu karena kekejaman Jepang dalam memperlakukan para pemuda yang dijadikan tenaga romusha.
Adapun organiasi semi militer yang dibentuk Jepang antara lain;
1)  Gerakan 3A (Jepang Pemimpin Asia, Jepang Cahaya Asia, dan Jepang Pelindung Asia) merupakan organisasi sosial yang bertujuan untuk mewadahi bangsa Indonesia agar lebih mudah untuk mengaturnya, terutama untuk mencapai tujuan Jepang. Gerakan 3A yang dipimpin oleh Mr. Syamsuddin, bertujuan:
a)  Menghimpun bangsa indonesia untuk mengabdi kepada kepentingan Jepang.
b)      Mempropagandakan kemenangan Jepang.
c)      Menanamkan anti Barat, terutama Belanda, Inggris, dan USA.
2)       Pusat Tenaga Rakyat (Putera). Putera dibentuk untuk menggantikan Gerakan 3 A. Organisasi ini dibentuk dengan tujuan untuk meningkatkan semangat bangsa Indonesia dalam membantu pemerintah Jepang dalam perang melawan Sekutu. Putera didirikan pada tanggal 1 Maret 1943 dipimpin oleh Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Ki Hajar Dewantoro, dan Kyai Haji Mansyur. Mengapa Jepang memilih tokoh-tokoh yang terkenal dan berpengaruh untuk memimpin Putera? Namun, para tokoh pergerakan nasional itu ingin menggunakan Putera sebagai alat perjuangan. Maksud tersebut diketahui oleh Jepang sehingga organisasi itu dibubarkan pada tahun 1944. Dengan demikian, maksud pembentukkan Putera tidak dapat mencapai hasil yang diinginkan.
3)      Jawa Hokokai (Kebaktian Rakyat Jawa). Organisasi ini dibentuk pada tahun 1944, setelah kedudukan pasukan Jepang semakin terdesak. Tujuannya adalah untuk menggerakan seluruh rakyat Indonesia agar berbakti kepada Jepang. Sebagai tanda bahwa rakyat benar-benar berbakti, maka rakyat harus rela berkurban, baik harta benda maupun jiwa dan raga untuk kepentingan perang Jepang. Rakyat Indonesia harus menyerah-kan emas, intan, dan segala harta benda (terutama beras) untuk kepentingan perang.
Akibatnya, kemiskinan merajalela di mana-mana rakyat hanya berpakaian karung goni, rakyat banyak yang mati karena kelaparan. Rakyat dididik/dilatih kemiliteran untuk memperkuat pertahanan Indonesia apabila diserang oleh Sekutu. Rakyat dipaksa untuk melaksanakan kerja paksa untuk membangun barak-barak militer. Rakyat dipaksa untuk menjadi romusha.
d.      Bidang Sosial
Salah satu kebijakan yang cukup penting dalam bidang sosial adalah pembagian kelas masyarakat seperti pada zaman Belanda. Masyarakat hanya dibedakan menjadi ‘saudara tua’ (Jepang) dan ‘saudara muda’ (Indonesia). Sedangkan penduduk Timur asing, terutama Cina adalah golongan masyarakat yang sangat dicurigai karena di negeri leluhurnya bangsa Cina telah mempersulit bangsa Jepang dalam mewujudkan cita-citanya. Hal ini sesuai dengan propaganda Jepang bahwa ‘Asia untuk bangsa Asia’. Namun dalam kenyataannya, Indonesia bukan untuk bangsa Asia, melainkan untuk bangsa Jepang. Untuk mencapai tujuannya, Jepang mengeluarkan beberapa kebijakan di bidang sosial, seperti:
1)     Pembentukkan Rukun Tetangga (RT). Untuk mempermudah pengawasan dan pengerahan penduduk, pemerintah Jepang membentuk Tanarigumi (RT). Pada waktu itu, Jepang membutuhkan tenaga yang sangat besar jumlahnya untuk membuat benteng-benteng pertahanan, lapangan pesawat terbang darurat, jalan, dan jembatan. Pengerahan masyarakat sangat terasa dengan adanya Kinrohoishi (kerja bakti yang menyerupai dengan kerja paksa). Oleh karena itu, pembentukkan RT dipandang sangat efektif untuk mengerahkan dan mengawasi aktivitas masyarakat.
2)      Romusha adalah pengerahan tenaga kerja secara paksa untuk membantu tugas-tugas yang harus dilaksanakan oleh Jepang. Pada awalnya, romusha dilaksanakan dengan sukarela, tetapi lama kelamaan dilaksanakan secara paksa. Bahkan, setiap desa diwajibkan untuk menyediakan tenaga dalam jumlah tertentu. Hal itu dapat dimaklumi karena daerah peperangan Jepang semakin luas. Tenaga romusha dikirim ke beberapa daerah di Indonesia, bahkan ada yang dikirim ke Malaysia, Myanmar, Serawak, Thailand, dan Vietnam. Para tenaga romusha diperlakukan secara kasar oleh Balatentara Jepang. Mereka dipaksa untuk bekerja berat tanpa mendapatkan makanan, minuman, dan jaminan kesehatan yang layak. Kekejaman Jepang terhadap tenaga romusha menyebabkan para pemuda berusaha menghindar agar tidak dijadikan tenaga romusha. Akhirnya, Jepang mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kasar.
3)      Pendidikan. Pada zaman Jepang, pendidikan mengalami peru-bahan. Sekolah Dasar (Gokumin Gakko) diperuntukkan untuk semua warga masyarakat tanpa membedakan status sosialnya. Pendidikan ini ditempuh selama enam tahun. Sekolah menengah dibedakan menjadi dua, yaitu: Shoto Chu Gakko (SMP) dan Chu Gakko (SMA). Di samping itu, ada Sekolah Pertukangan (Kogyo Gakko), Sekolah Teknik Menengah (Kogyo Sermon Gakko), dan Sekolah Guru yang dibedakan menjadi tiga tingkatan. Sekolah Guru dua tahun (Syoto Sihan Gakko), Sekolah Guru empat tahun (Guto Sihan Gakko), dan Sekolah Guru dua tahun (Koto Sihan Gakko). Seperti pada zaman Belanda, Jepang tidak menyelenggarakan jenjang pendidikan universitas. Yang ada hanya Sekolah Tinggi Kedokteran (Ika Dai Gakko) di Jakarta, Sekolah Tinggi Teknik (Kagyo Dai Gakko) di Bandung. Kedua Sekolah Tinggi itu meru-pakan kelanjutan pada zaman Belanda. Untuk menyiapkan kader pamong praja diselenggarakan Sekolah Tinggi Pamongpraja (Kenkoku Gakuin) di Jakarta.
4)      Penggunaan Bahasa Indonesia. Menurut Prof. Dr. A. Teeuw (ahli Bahasa Indonesia berkebangsaan Belanda) bahwa pendu-dukan Jepang merupakan masa bersejarah bagi Bahasa Indonesia. Tahun 1942, pemerintah pendudukan Jepang melarang penggunaan Bahasa Belanda dan digantikan dengan Bahasa Indonesia. Bahkan, pada tahun 1943 semua tulisan yang berbahasa Belanda dihapuskan diganti dengan tulisan berbahasa Indonesia. Bahasa Indonesia tidak hanya sebagai bahasa pergaulan, tetapi telah menjadi bahasa resmi pada instansi pemerintah dan lembaga pendidikan. Sejak saat itu, banyak karya sastra telah ditulis dalam Bahasa Indonesia, seperti karya Armin Pane yang berjudul Kami Perempuan (1943), Djinak-djinak Merpati, Hantu Perempuan (1944), Barang Tidak Berharga (1945), dan sebagai-nya. Pengarang lain seperti Abu Hanifah yang lebih dikenal dengan nama samaran El Hakim dengan karyanya berjudul Taufan di atas Angin, Dewi Reni, dan Insan Kamil. Selain itu, penyair terkenal pada masa pendudukan Jepang, Chairil Anwar yang mendapat gelar tokoh Angkatan ’45 dengan karyanya: Aku, Kerawang Bekasi, dan sebagainya.
Dengan demikian, pemerintah pendudukan Jepang telah mem-berikan kebebasan kepada bangsa Indonesia untuk mengguna-kan dan mengembangkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar, bahasa komunikasi, bahasa resmi, bahasa penulisan, dan sebagainya. Bahasa Indonesia pun berkembang ke seluruh pelosok Tanah Air.

Referensi:
http://eprints.dinus.ac.id/14415/1/[Materi]_pendudukan_jepang_di_indonesia.pdf

6.      CITA-CITA EKONOMI MERDEKA
Pembangunan ekonomi harus diartikan sebagai perkembangan ekonomi rakyat dengan segala aspek kehidupan mereka (ekonomi, politik, harga diri, kepercayaan diri, kreativitas, solidaritas antar sesama, kemerdekaan yang berfungsi sosial, dll). Oleh karena itu negara yang masih tergolong negara berkembang pada umumnya termasuk Indonesia masih mengandung struktur sosial yang tidak seimbang atau pincang, pengembangan ekonomi rakyat harus melalui cara-cara atau jalan yang fundamental dan mengakar dalam struktur sosial dan penguasaan aset ekonomi.Pemikiran pembangunan ini bertujuan transformasi ekonomi bersamaan dengan transformasi sosial dalam arti pro-rakyat. Sumber-sumber ekonomi akan ditujukan sebagian besar untuk keperluan rakyat banyak.
Hal ini sesuai dengan pasal 33 UUD 1945 yang dimana tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua dibawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat yang diutamakan bukan kemakmuran individual atau personal. Sebab itu ekonomi disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas usaha kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu adalah koperasi. Rumusan nasionalisme ekonomi untuk Indonesia seperti yang diutarakan diatas menghendaki secara mutlak adanya suatu restrukturisasi ekonomi Indonesia dari struktur ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi bangsa merdeka dengan mayoritas bangsa sebagai pelaku dan tulang punggungnya.
Hal ini senada dengan apa yang dikemukan oleh Bung Hatta sebagai perumus Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, “Pasal 33 UUD 1945 itu adalah kebulatan pendapat yang hidup dalam perjuangan kemerdekaan pada zaman Hindia Belanda dahulu. Apabila diperhatikan struktur perekonomian dimasa itu, maka terdapatlah tiga golongan ekonomi yang tersusun bertingkat. Golongan atas ialah perekonomian kaum Kulit Putih, terutama bangsa Belanda. Produksi yang berhubungan dengan dunia luaran hampir rata-rata ditangan mereka, yaitu produksi perkebunan, produksi industri, jalan perhubungan di laut, sebagian di darat dan udara. Lapis ekonomi kedua, yang menjadi perantara dan hubungan dengan masyarakat Indonesia berada kira-kira 90% ditangan orang Tionghoa dan orang Asia lainnya.
Orang Indonesia yang dapat dimasukkan ke dalam lapis kedua tersebut paling banyak sekitar 10%. Itupun menduduki tingkat sebelah bawah. Mereka sanggup masuk ke dalam lapis kedua itu karena kegiatannya bekerja dibantu oleh modal yang dimilikinya. Lapis ketiga adalah perekonomian segala kecil : pertanian kecil, pertukangan kecil, perdagangan kecil, dll, itulah daerah ekonomi bangsa Indonesia. Pun pekerja segala kecil, kuli, buruh kecil, dan pegawai kecil diambil dari masyarakat Indonesia ini. Dalam perekonomian yang segala kecil itu tidak mungkin orangorang dengan tenaga sendiri sanggup maju keatas. Kecuali beberapa ratus orang Indonesia yang memiliki modal usaha sedikit yang sanggup menempatkan dirinya dalam golongan dagang menengah yang hampir rata-rata diisi oleh orang Tionghoa dan orang-orang Asia lainnya.
Dalam keadaan ekonomi kolonial semacam itulah dimana pergerakan kemerdekaan mencita-citakan Indonesia merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur di kemudian hari, hiduplah keyakinan, bahwa bangsa Indonesia dapat mengangkat dirinya keluar dari lumpur, tekanan dan isapan, apabila ekonomi rakyat disusun sebagai usaha bersama berdasarakan koperasi”—Hatta, 1970 (Sritua Arif , 2002:120) Apa yang disampaikan oleh Bung Hatta adalah proses atau cara restrukturisasi ekonomi yang bertujuan mengubah dialektik ekonomi zaman Kolonial Belanda, yang pada jalannya adalah selain dalam pengorganisasian ekonomi rakyat juga dilakukan dengan upaya yang sistematis untuk menciptakan keseimbangan dalam penguasaan sumber-sumber ekonomi Indonesia, terkhusus mengenai perimbangan kekuatan antara golongan Cina dengan golongan pribumi Indonesia yang perlu diperbaiki ekonomi.
Program Ekonomi Kerakyatan :
1.      Melaksanakan Etika Produksi Baru Adalah dimana struktur produksi nasional dimana komposisi produksi nasional berbeda dari yang sekarang, bahwa produksi-produksi terbesar adalah barang-barang pokok kebutuhan rakyat, dan produksi barangbarang tersebut haruslah mendominasi pertumbuhan produksi nasional. Bahwasanya hasil produksi melalui padat karya yang membutuhkan tenaga kerja dengan upah yang layak secara kemanusiaan, artinya upah yang layak secara kemanusiaan adalah upah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok dan ada sisa disimpan.
2.      Melaksanakan Demokrasi Ekonomi. Demokrasi ekonomi yang dimaksud adalah sesuai dengan pasal 33 UUD 1945, sistem tersebut dapat diartikan sebagai sistem kapitalisme kerakyatan melalui koperasi dengan peranan negara di bidang-bidang yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Sekalipun negara berperan besar, tetapi proses ekonomi sebagaian besar diselenggarakan oleh rakyat atas dasar setiap usaha mempunyai fungsi sosial yang tercermin dalam distribusi yang adil dari hasil usaha dan juga tercermin dalam organisasi unit-unit usaha sedang dan besar berbentuk koperasi. Unit-unit kecil dibiarkan untuk dimiliki oleh individu atas dasar bentuk perorangan. Dan sistem ini adalah cara atau konsep untuk menghindari dan menolak model proses ekonomi yang sentralistik perorangan, dimana kekuasaan ekonomi dipegang segelintir orang dan sekelompok orang.
3.      Strategi Industrialisasi Artinya bahwa adanya kawasan-kawasan industri pada tingkat daerah di Indonesia. Untuk barang-barang konsumsi massal atau pokok dalam kategori industri kecil dan menegah menyebar diseluruh daerah, sehingga setiap daerah mempunyai industri-industri barang konsumsi sendiri untuk memenuhi kebutuhan daerah berdasarkan ketersediaan barang baku industri. Dengan langkah ini, produksi barang industri untuk keperluan rakyat dilakukan oleh orang banyak sebagai produsen, sehingga di tiap daerah dapat terlaksana pengembangan daerah dan demokrasi ekonomi secara bersamaan.
4.      Pembangunan Koperasi. Koperasi dalam hal ini, harusnya dapat menjadi tulang punggung sistem ekonomi dalam sektor swasta, sehingga tidak lagi mempersoalkan skala kecil dan menengah, tetapi juga sudah mengukur kekuatan waktu untuk jangka menengah dan panjang. Model usaha koperasi diusulkan Bung Hatta sebagai bentuk ekonomi rakyat hal ini berdasarkan pengamatan Bung Hatta mengenai struktur sosial dan struktur ekonomi di Indonesia.
5.      Program Pendidikan Hal ini juga merupakan bagian penting untuk tetap mewariskan pengetahuan dan nilai-nilai filosofis yang terkadung dalam ekonomi kerakyatan bagi generasi muda untuk mencetak kader-kader bangsa yang ulet dan cerdas dalam menghadapi tantangan bangsa di kemudian hari. (Sritua Arif, 2002 : 197 
Ekonomi kerakyatan ini juga sesuai dengan salah satu pilar Trisakti yang dikemukan oleh Bung Karno yakni “Berdikari di bidang Ekonomi”. Bahwa Indonesia yang merdeka berdaulat atas sumber daya alamnya, dan berdaulat atas ekonominya bukan berdaulat kepada pihak asing yang pada akhirnya menciptakan penjajahan baru pada bangsa Indonesia. Hal ini juga sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Bung Karno terkait konsep perombakan ekonomi Indonesia dari ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional rakyat :
“Banyak diantara kaum nasionalis Indonesia yang berangan-angan jempol sekali jikalau negara kita bisa, seperti negeri Jepang, atau negeri Amerika atau negeri Inggris ! kaum nasionalis yang demikian itu adalah kaum nasionalis yang burgerlijk, yaitu kaum nasionalis borjuis. Mereka adalah Burgelijk Revolutionair dan tidak Social Revolutionair.
Nasionalisme kita tidak boleh nasionalisme yang demikian itu. Nasionalisme kita haruslah nasionalisme yang mencari selamatnya perikemanusiaan. Nasionalisme kita haruslah lahir daripada menselijkheid.
Nasionalisme kita oleh karenanya, haruslah nasionalisme yang dengan perkataan baru kami sebutkan : Sosio Nasionalisme dan demokrasi yang harus kita cita-citakan haruslah juga demokrasi yang kami sebutkan :Sosio Demokrasi.
Apakah sosio - nasionalisme dan sosio - demokrasi itu ? Sosio – nasionalisme adalah dus : nasionalisme-masyarakat dan sosio – demokrasi adalah demokrasi masyarakat. Tetapi apakah nasionalisme-masyarakat dan demokrasi masyarakat ?
Memang maksudnya sosio – nasionalisme ialah memperbaiki keadaan keadaan di dalam masyarakat itu sehingga keadaan yang kini pincang itu menjadi keadaan yang sempurna, tidak ada kaum tertindas, tidak ada kaum yang cilaka, tidak ada kaum yang papa sengsara. Jadi sosio – nasionalisme adalah nasionalisme yang bermaksud mencari keberesan politik dan keberesan ekonomi, keberesan negeri DAN keberesan rezeki.
Dan demokrasi masyarakat ? demokrasi masyarakat, sosio – demokrasi, adalah timbul karena sosio – nasionalisme. Sosio – demokrasi adalah pula demokrasi yang berdiri dengan dua-dua kakinya di dalam masyarakat. Sosio – demokrasi tidaklah ingin mengabdi suatu gundukan kecil saja, tetapi kepentingan masyarakat. Sosio – demokrasi adalah demokrasi politik DAN demokrasi ekonomi”---Soekarno, 1932 (Sritua Arif, 2002 : 200).
Bahwa Bung Karno berpendapat kemerdekaan bukan untuk kepentingan kemerdekaan itu sendiri, tetapi kemerdekaan yang adalah merupakan syarat fundamental untuk melalukan koreksi besar dalam tatanan sosial dan tatanan hubungan ekonomi di dalam masyarakat.

Referensi :
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/44705/4/Chapter%20II.pdf

7.      EKONOMI INDONESIA SETIAP PERIODE ORDE LAMA, ORDE BARU, DAN REFORMASI
A.    Periode Ode Lama (Periode 1945-1966)
Masa Pasca Kemerdekaan (1945-1950) Keadaan ekonomi keuangan pada masa awal kemerdekaan amat buruk, antara lain disebabkan :
-          Inflasi yang sangat tinggi, disebabkan karena beredarnya lebih dari satu mata uang secara tidak terkendali. Pada waktu itu, untuk sementara waktu pemerintah RI menyatakan tiga mata uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu mata uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang pendudukan Jepang. Kemudian pada tanggal 6 Maret 1946, Panglima AFNEI (Allied Forces for Netherlands East Indies/pasukan sekutu) mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah-daerah yang dikuasai sekutu. Pada bulan Oktober 1946, pemerintah RI juga mengeluarkan uang kertas baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai pengganti uang Jepang. Berdasarkan teori moneter, banyaknya jumlah uang yang beredar mempengaruhi kenaikan tingkat harga.
-       Adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup pintu perdagangan luar negeri RI.
-          Kas negara kosong.
-          Eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan.

Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi, antara lain :
-     Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan Ir. Surachman dengan persetujuan BP-KNIP, dilakukan pada bulan Juli 1946. Upaya menembus blokade dengan diplomasi beras ke India, mangadakan kontak dengan perusahaan swasta Amerika, dan menembus blokade Belanda di Sumatera dengan tujuan ke Singapura dan Malaysia.
-          Konferensi Ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan yang bulat dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu : masalah produksi dan distribusi makanan, masalah sandang, serta status dan administrasi perkebunan-perkebunan.
-          Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947.
-   Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948. yaitu dengan mengalihkan tenaga bekas angkatan perang ke bidang-bidang produktif.
-       Kasimo Plan yang intinya mengenai usaha swasembada pangan dengan beberapa petunjuk pelaksanaan yang praktis. Dengan swasembada pangan, diharapkan perekonomian akan membaik.
Masa Demokrasi Liberal (1950-1957)
Masa ini disebut masa liberal, karena dalam politik maupun sistem ekonominya menggunakan prinsip-prinsip liberal. Perekonomian diserahkan pada pasar sesuai teoriteori mazhab klasik yang menyatakan laissez faire laissez passer. Padahal pengusaha pribumi masih lemah dan belum bisa bersaing dengan pengusaha nonpribumi, terutama pengusaha Cina. Pada akhirnya sistem ini hanya memperburuk kondisi perekonomian Indonesia yang baru merdeka.
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi masalah ekonomi, antara lain :
a)    Gunting Syarifuddin, yaitu pemotongan nilai uang (sanering) 20 Maret 1950, untuk mengurangi jumlah uang yang beredar agar tingkat harga turun.
b)  Program Benteng (Kabinet Natsir), yaitu upaya menumbuhkan wiraswastawan pribumi dan mendorong importir nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan impor asing dengan membatasi impor barang tertentu dan memberikan lisensi impornya hanya pada importir pribumi serta memberikan kredit pada perusahaan-perusahaan pribumi agar nantinya dapat berpartisipasi dalam perkembangan ekonomi nasional. Namun usaha ini gagal, karena sifat pengusaha pribumi yang cenderung konsumtif dan tak bisa bersaing dengan pengusaha non-pribumi.
c)    Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada 15 Desember 1951 lewat UU no.24 th 1951 dengan fungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi. Sistem ekonomi Ali-Baba (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mr Iskak Cokrohadisuryo, yaitu penggalangan kerjasama antara pengusaha cina dan pengusaha pribumi. Pengusaha nonpribumi diwajibkan memberikan latihan-latihan pada pengusaha pribumi, dan pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional. Program ini tidak berjalan dengan baik, karena pengusaha pribumi kurang berpengalaman, sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah.
d)    Pembatalan sepihak atas hasil-hasil KMB, termasuk pembubaran Uni Indonesia-Belanda. Akibatnya banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya sedangkan pengusaha-pengusaha pribumi belum bisa mengambil alih perusahaan-perusahaan tersebut. Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1967) Sebagai akibat dari dekrit presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia menjalankan sistem demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem etatisme (segala-galanya diatur oleh pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan akan membawa pada kemakmuran bersama dan persamaan dalam sosial, politik, dan ekonomi (Mazhab Sosialisme).
Akan tetapi, kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah di masa ini belum mampu memperbaiki keadaan ekonomi Indonesia, antara lain:
a.       Devaluasi yang diumumkan pada 25 Agustus 1959 menurunkan nilai uang sebagai berikut : Uang kertas pecahan Rp 500 menjadi Rp 50, uang kertas pecahan Rp 1000 menjadi Rp 100, dan semua simpanan di bank yang melebihi 25.000 dibekukan.
b.      Pembentukan Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian Indonesia. Bahkan pada 1961-1962 harga barang-barang naik 400%.
c.    Devaluasi yang dilakukan pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp 1000 menjadi Rp 1. Sehingga uang rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat uang rupiah lama, tapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih tinggi. Maka tindakan pemerintah untuk menekan angka inflasi ini malah meningkatkan angka inflasi.
Kegagalan-kegagalan dalam berbagai tindakan moneter itu diperparah karena pemerintah tidak menghemat pengeluaran-pengeluarannya. Pada masa ini banyak proyek-proyek mercusuar yang dilaksanakan pemerintah, dan juga sebagai akibat politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara Barat. Sekali lagi, ini juga salahsatu konsekuensi dari pilihan menggunakan sistem demokrasi terpimpin yang bisa diartikan bahwa Indonesia berkiblat ke Timur (sosialis) baik dalam politik, ekonomi, maupun bidang-bidang lain. 
B.     Periode Orde Baru (Periode Maret 1966 - Mei 1998)
Orde baru memiliki perhatian kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan ekonomi dan sosial di tanah air. Orde baru menjalin kerjasama dengan pihak barat dan menjauhi pengaruh ideologi komunis. Sebelum melakukan pembangunan Repelita, dilakukan pemulihan stabilitas ekonomi, sosial, dan politik serta rehabilitasi ekonomi di dalam negeri. Sasaran kebijakan terutama untuk menekan kembali tingkat inflasi, mengurangi defisit keuangan pemerintah, dan menghidupkan kembali kegiatan produksi, termasuk ekspor yang sempat mengalami stagnasi pada Orde Lama. Penyusunan rencana Pelita secara bertahap dengan target-target yang jelas sangat dihargai oleh negaranegara Barat.
Tujuan jangka panjang dari pembangunan ekonomi pada masa Orde Baru: meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui suatu proses industrialisasi dalamskala besar, yang pada saat itu dianggap sebagai satu-satunya cara yang paling tepat dan efektif untuk menanggulangi masalah-masalah ekonomi, seperti kesempatan kerja dan defisit neraca pembayaran.
Terjadi perubahan struktural dalam perekonomian Indonesia selama masa Orde Baru jika dilihat dari perubahan pangsa PDB (Produk Domestik Bruto), terutama dari sektor industri. Kontribusi sektor industri sekitar 8% (1960) menjadi 12% (1983). Hal ini menunjukkan terjadinya proses industrialisasi atau transformasi ekonomi dari negara agraris menuju semiindustri. Proses pembangunan dan perubahan ekonomi semakin cepat pada paruh dekade 80-an, di mana pemerintah mengeluarkan berbagai deregulasi di sektor moneter maupun riil dengan tujuan utama meningkatkan ekspor nonmigas dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi serta berkelanjutan. Deregulasi menyebabkan terjadinya pergeseran dari semula tersentralisasi menjadi desentralisasi dan peranan sektor swasta semakin besar. Pada level meso (tengah) dan mikro, pembangunan tidak terlalu berhasil : jumlah kemiskinan tinggi, kesenjangan ekonomi meningkat di akhir 90-an. Secara umum dalam Orde Baru terjadi perubahan orientasi kebijakan ekonomi yang semula bersifat tertutup di Orde Lama menjadi terbuka pada Orde Baru.
Perkembangan ekonomi masa Orde Baru lebih baik dari Orde Lama disebabkan oleh beberapa faktor:
1.     Kemauan Politik yang kuat dari pemerintah untuk melakukan pembangunan atau melakukan perubahan kondisi ekonomi.
2.  Stabilitas politik dan ekonomi yang lebih baik daripada masa Orde Lama. Pemerintah Orde Baru berhasil menekan inflasi. Mereka juga berhasil menyatukan bangsa dan kelompok masyarakat serta meyakinkan mereka bahwa pembangunan ekonomi dan sosial adalah jalan satu-satunya agar kesejahteraan masyarakat di Indonesia dapat meningkat.
3.      Sumber daya manusia yang lebih baik. SDM di masa ORBA memiliki kemampuan untuk menyusun program dan strategi pembangunan dengan kebijakan-kebijakan yang terkait serta mampu mengatur ekonomi makro secara baik.
4.  Sistem politik dan ekonomi terbuka yang berorientasi ke Barat. Hal ini sangat membantu khususnya dalam mendapatkan pinjaman luar negeri, PMA dan transfer teknologi serta ilmu pengetahuan.
5.     Kondisi ekonomi dan politik dunia yang lebih baik. Selain terjadi oil boom (tingkat produksi minyak dan harganya yang meningkat), juga kondisi ekonomi dan politik dunia pada era ORBA khususnya setelah perang dingin berakhir, jauh lebih baik daripada semasa ORLA.
Pemerintahan Transisi, ciri-cirinya :
Diawali dengan melemahnya nilai tukar baht Thailand terhadap USD pada Mei 1997, sehingga para investor mengambil keputusan jual baht untuk beli USD. Melemahnya baht merambah sampai ke mata uang Asia lainnya (Ringgit Malaysia hingga Rupiah).
Hal ini menyebabkan terjadinya krisis keuangan di Asia. Nilai tukar Rupiah terus melemah terhadap USD, pemerintah melakukan intervensi dengan memperluas rentang intervensi. Namun hal itu tidak banyak membantu pemulihan nilai tukar rupiah thd USD. Pada Oktober 1997, pemerintah memutuskan meminta bantuan keuangan pada IMF.
Paket bantuan I sebesar USD 40 Milyar diturunkan pada akhir Okt 1997. Bantuan tersebut diikuti dengan persyaratan penutupan atau pencabutan izin usaha 16 bank swasta yang dinilai tidak sehat. Setelah paket bantuan, justru nilai tukar Rp semakin melemah. Akhirnya pemerintah membuat kesepakatan dengan IMF dalam bentuk Letter of Intent (LoI) pada Januari 1998. LoI berisi 50 butir kebijakan mencakup ekonomi makro (fiskal dan moneter), restrukturisasi sektor keuangan, dan reformasi struktural. Di bidang fiskal : penegasan penggunaan prinsip anggaran berimbang pada APBN, usaha pengurangan pengeluaran pemerintah (menghilangkan subsidi BBM dan listrik), membatalkan sejumlah proyek infrastruktur yang besar, serta peningkatan pendapatan pemerintah. Setelah gagal dengan kesepakatan pertama, dibuat lagi kesepakatan baru pada Maret 1998 dengan nama Memorandum Tambahan tentang Kebijakan Ekonomi dan Keuangan (MTKEK).
Memorandum tambahan itu antara lain: Program stabilisasi, dengan tujuan utama menstabilkan pasar uang dan mencegah inflasi. Restrukturisasi perbankan dengan tujuan untuk menyehatkan perbankan nasional. Reformasi struktural dalam perekonomian. Penyelesaian utang luar negeri swasta dengan melibatkan pemerintah. Bantuan untuk rakyat kecil sebagai kompensasi penurunan subsidi BBM dan listrik.
Pada periode ini masih dipimpin oleh Soeharto, namun pada akhir Mei 1998, terjadi gerakan mahasiswa untuk menurunkannya. Soeharto kemudian digantikan oleh Habibie yang merupakan awal terbentuknya pemerintahan transisi. Disebut dengan transisi karena seharusnya melakukan perubahan (reformasi) terhadap apa yang sudah dilakukan pemerintahan sebelumnya, tetapi ternyata pemerintahan yang baru ini masih dianggap bagian dari gaya Orde Baru dan tidak ada perubahan yang nyata dalam perekonomian.
C.    Periode Orde Reformasi (Periode 1998-Sekarang)
-          Pemerintahan presiden BJ.Habibie
Pemerintahan presiden BJ.Habibie Yang mengawali masa reformasi belum melakukan manuver-manuver yang cukup tajam dalam bidang ekonomi. Kebijakan-kebijakannya diutamakan untuk mengendalikan stabilitas politik.
-          Kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid
Pada masa kepemimpinan presiden Abdurrahman Wahid pun belum ada tindakan yang cukup berarti untuk menyelamatkan negara dari keterpurukan. Padahal, ada berbagai persoalan ekonomi yang diwariskan orde baru harus dihadapi, antara lain masalah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), pemulihan ekonomi, kinerja BUMN, pengendalian inflasi, dan mempertahankan kurs rupiah. Malah presiden terlibat skandal Bruneigate yang menjatuhkan kredibilitasnya di mata masyarakat. Akibatnya, kedudukannya digantikan oleh presiden Megawati.
-          Masa  Kepemimpinan Megawati Soekarnoputri
Masalah-masalah yang mendesak untuk dipecahkan adalah pemulihan ekonomi dan penegakan hukum. Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi persoalanpersoalan ekonomi antara lain :
a)      Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan Paris Club ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun.
b)      Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam periode krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi kekuatankekuatan politik dan mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak kontroversi, karena BUMN yang diprivatisasi dijual ke perusahaan asing. Di masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), tetapi belum ada gebrakan konkrit dalam pemberantasan korupsi. Padahal keberadaan korupsi membuat banyak investor berpikir dua kali untuk menanamkan modal di Indonesia, dan mengganggu jalannya pembangunan nasional.
-          Masa Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono
Kebijakan kontroversial pertama presiden Yudhoyono adalah mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatar belakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke subsidi sektor pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan controversial kedua, yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah sosial. Kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan perkapita adalah mengandalkan pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta mengundang investor asing dengan janji memperbaiki iklim investasi. Salah satunya adalah diadakannya Indonesian Infrastructure Summit pada bulan November 2006 lalu, yang mempertemukan para investor dengan kepala-kepala daerah. Menurut Keynes, investasi merupakan faktor utama untuk menentukan kesempatan kerja. Mungkin ini mendasari kebijakan pemerintah yang selalu ditujukan untuk memberi kemudahan bagi investor, terutama investor asing, yang salahsatunya adalah revisi undangundang ketenagakerjaan. Jika semakin banyak investasi asing di Indonesia, diharapkan jumlah kesempatan kerja juga akan bertambah.
  
Referensi :
Dumairy, 2005, Perekonomian Indonesia, Erlangga, Jakarta
http://rowland_pasaribu.staff.gunadarma.ac.id/.../sistem-perekonomian-indonesia.pdf