http://staff.ui.ac.id/system/files/users/iman.hilman/material/phki-2.pdf
2. SISTEM MONOPOLI VOC
a.
Lahirnya
VOC
Lahirnya VOC Seperti
telah dijelaskan di muka bahwa tujuan kedatangan orang-orang Eropa ke dunia
timur antara lain untuk mendapatkan keuntungan dan kekayaan. Tujuan ini boleh
dikatakan dapat dicapai setelah mereka menemukan rempah-rempah di Kepulauan
Nusantara. Berita tentang keuntungan yang melimpah berkat perdagangan
rempah-rempah itu menyebar luas. Dengan demikian semakin banyak orang-orang
Eropa yang tertarik pergi ke Nusantara. Mereka saling berinteraksi dan bersaing
dalam meraup keuntungan berdagang. Para pedagang atau perusahaan dagang
Portugis bersaing dengan para pedagang Belanda, bersaing dengan para pedagang
Spanyol, bersaing dengan para pedagang Inggris, dan seterusnya. Bahkan tidak
hanya antarbangsa, antarkelompok atau kongsi dagang, dalam satu bangsapun
mereka saling bersaing. Oleh karena itu, untuk memperkuat posisinya di dunia
timur masing-masing kongsi dagang dari suatu negara membentuk persekutuan
dagang bersama.
Sebagai contoh seperti
pada tahun 1600 Inggris membentuk sebuah kongsi dagang yang diberi nama East India Company (EIC). Kongsi dagang
EIC ini kantor pusatnya berkedudukan di Kalkuta, India. Dari Kalkuta ini
kekuatan dan setiap kebijakan Ingris di dunia timur, dikendalikan. Pada tahun
1811 kedudukan Inggris begitu kuat dan meluas bahkan pernah berhasil
menempatkan kekuasaannya di Nusantara. Persaingan yang cukup keras juga terjadi
di antarperusahaan dagang orang-orang Belanda. Masing-masing ingin memenangkan
kelompoknya agar mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Kenyataan ini
mendapat perhatian khusus dari pihak pemerintah dan parlemen Belanda, sebab
persaingan antarkongsi Belanda juga akan merugikan Kerajaan Belanda sendiri.
Terkait dengan itu, maka pemerintah dan Parlemen Belanda (Staten Generaal) pada
1598 mengusulkan agar antarkongsi dagang Belanda bekerja sama membentuk sebuah
perusahaan dagang yang lebih besar. Usulan ini baru terealisasi empat tahun
berikutnya, yakni pada 20 Maret 1602 secara resmi dibentuklah persekutuan
kongsi dagang Belanda di Nusantara sebagai hasil fusi antarkongsi yang telah
ada. Kongsi dagang Belanda ini diberi nama Vereenigde
Oost Indische Compagnie (VOC) atau dapat disebut dengan “Perserikatan
Maskapai Perdagangan Hindia Timur/Kongsi Dagang India Timur”.
VOC secara resmi
didirikan di Amsterdam. Adapun tujuan dibentuknya VOC ini antara lain untuk:
(1) menghindari persaingan yang tidak sehat antara sesama kelompok/kongsi
pedagang Belanda yang telah ada, (2) memperkuat kedudukan Belanda dalam
menghadapi persaingan dengan para pedagang negara lain. VOC dipimpin oleh
sebuah dewan yang beranggotakan 17 orang, sehingga disebut “Dewan Tujuh Belas”
(de Heeren XVII). Mereka terdiri dari
delapan perwakilan kota pelabuhan dagang di Belanda. Markas Besar Dewan ini
berkedudukan di Amsterdam. Dalam menjalankan tugas, VOC ini memiliki beberapa
kewenangan dan hak-hak antara lain: 1. melakukan monopoli perdagangan di
wilayah antara Tanjung Harapan sampai dengan Selat Magelhaens, termasuk
Kepulauan Nusantara, 2. membentuk angkatan perang sendiri, 3. melakukan
peperangan, 4. mengadakan perjanjian dengan raja-raja setempat, 5. mencetak dan
mengeluarkan mata uang sendiri, 6. mengangkat pegawai sendiri, dan 7.
memerintah di negeri jajahan. Sebagai sebuah kongsi dagang, dengan kewenangan dan
hak-hak di atas, menunjukkan bahwa VOC memiliki hak-hak istimewa dan kewenangan
yang sangat luas. VOC sebagai kongsi dagang bagaikan negara dalam negara.
Dengan memiliki hak untuk membentuk angkatan perang sendiri dan boleh melakukan
peperangan, maka VOC cenderung ekspansif. VOC terus berusaha memperluas
daerah-daerah di Nusantara sebagai wilayah kekuasaan dan monopolinya. VOC juga
memandang bangsa-bangsa Eropa yang lain sebagai musuhnya. Mengawali ekspansinya
tahun 1605 VOC telah berhasil mengusir Portugis dari Ambon. Benteng pertahanan
Portugis di Ambon dapat diduduki tentara VOC.
Benteng itu kemudian
oleh VOC diberi nama Benteng Victoria.
Pada awal pertumbuhannya sampai tahun 1610, “Dewan Tujuh Belas” secara langsung harus menjalankan tugas-tugas
dan menyelesaikan berbagai urusan VOC, termasuk urusan ekspansi untuk perluasan
wilayah monopoli. Dapat Kamu bayangkan “Dewan
Tujuh Belas” yang berkedudukan di Amsterdam, Belanda mengurus wilayah yang
ada di Kepulauan Nusantara. Sudah barang tentu “Dewan Tujuh Belas” tidak dapat menjalankan tugas seharihari secara
cepat dan efektif. Sementara itu persaingan dan permusuhan dengan bangsabangsa
lain juga semakin keras. Berangkat dari permasalahan ini maka pada 1610 secara
kelembagaan diciptakan jabatan baru dalam organisasi VOC, yakni jabatan
gubernur jenderal. Gubernur jenderal merupakan jabatan tertinggi yang bertugas
mengendalikan kekuasaan di negeri jajahan VOC. Di samping itu juga dibentuk “Dewan Hindia” (Raad van Indie). Tugas “Dewan
Hindia” ini adalah memberi nasihat dan mengawasi kepemimpinan gubernur
jenderal. Gubernur jenderal VOC yang pertama adalah Pieter Both (1610-1614). Sebagai gubernur jenderal yang pertama,
Pieter Both sudah tentu harus mulai menata organisasi kongsi dagang ini
sebaik-baiknya agar harapan mendapatkan monopoli perdagangan di Hindia Timur
dapat diwujudkan.
Pieter
Both
pertama kali mendirikan pos perdagangan di Banten pada tahun 1610. Pada tahun
itu juga Pieter Both meninggalkan
Banten dan berhasil memasuki Jayakarta. Penguasa Jayakarta waktu itu, Pangeran Wijayakrama sangat terbuka
dalam hal perdagangan. Pedagang dari mana saja bebas berdagang, di samping dari
Nusantara juga dari luar seperti dari Portugis, Inggris, Gujarat/India, Persia,
Arab, termasuk juga Belanda. Dengan demikian Jayakarta dengan pelabuhannya
Sunda Kelapa menjadi kota dagang yang sangat ramai. Kemudian pada tahun 1611 Pieter Both berhasil mengadakan
perjanjian dengan penguasa Jayakarta, guna pembelian sebidang tanah seluas
50x50 vadem ( atu vadem sama dengan 182 cm) yang berlokasi di sebelah timur
Muara Ciliwung. Tanah inilah yang menjadi cikal bakal hunian dan daerah
kekuasaan VOC di tanah Jawa dan menjadi cikal bakal Kota Batavia. Di lokasi ini
kemudian didirikan bangunan batu berlantai dua sebagai tempat tinggal, kantor
dan sekaligus gudang. Pieter Both juga berhasil mengadakan perjanjian dan
menanamkan pengaruhnya di Maluku dan berhasil mendirikan pos perdagangan di
Ambon.
b.
VOC
Merajalela
VOC semakin merajalela
Pada tahun 1614 Pieter Both
digantikan oleh Gubernur Jenderal Gerard
Reynst (1614-1615). Baru berjalan satu tahun ia digantikan gubernur
jenderal yang baru yakni Laurens Reael (1615-1619). Pada masa jabatan Laurens Reael ini berhasil dibangun
Gedung Mauritius yang berlokasi di tepi Sungai Ciliwung. Orang-orang Belanda
yang tergabung dalam VOC itu memang cerdik. Pada awalnya mereka bersikap baik
dengan rakyat. Hubungan dagang dengan kerajaan-kerajaan yang ada di Nusantara
juga berjalan lancar. Bahkan seperti telah djelaskan di atas, orang-orang
Belanda di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Pieter Both diizinkan oleh Pangeran
Wijayakrama untuk membangun tempat tinggal dan loji di Jayakarta. Sikap baik
rakyat dan para penguasa setempat ini dimanfaatkan oleh VOC untuk semakin
memperkuat kedudukannya di Nusantara. Lama kelamaan orang-orang Belanda mulai
menampakkan sikap congkak, dan sombong. Setelah merasakan nikmatnya tinggal di
Nusantara dan menikmati keuntungannya yang melimpah dalam berdagang, Belanda
semakin bernafsu ingin menguasai dan kadang-kadang melakukan paksaan dan
kekerasan. Hal ini telah menimbulkan kebencian rakyat dan para penguasa lokal.
Oleh karena itu, pada
tahun 1618 Sultan Banten yang dibantu tentara Inggris di bawah Laksamana Thomas Dale berhasil mengusir
VOC dari Jayakarta. Orang-orang VOC kemudian menyingkir ke Maluku. Setelah VOC
hengkang dari Jayakarta pasukan Banten pada awal tahun 1619 juga mengusir
Inggris dari Jayakarta. Dengan demikian Jayakarta sepenuhnya dapat dikendalikan
oleh Kesultanan Banten. Tahun 1619 Gubernur Jenderal VOC Laurens Reael
digantikan oleh Gubernur Jenderal Jan
Pieterzoon Coen (J.P. Coen).
J.P. Coen dikenal gubernur jenderal yang berani dan kejam serta ambisius. Oleh
karena itu, merasa bangsanya dipermalukan pasukan Banten dan Inggris di Jayakarta,
maka J.P. Coen mempersiapkan pasukan
untuk menyerang Jayakarta. Armada angkatan laut dengan 18 kapal perangnya
mengepung Jayakarta. Ternyata dalam waktu singkat Jayakarta dapat diduduki VOC.
Kota Jayakarta kemudian dibumihanguskan oleh J.P. Coen pada tanggal 30 Mei 1619. Di atas puingpuing kota
Jayakarta itulah dibangun kota baru bergaya kota dan bangunan di Belanda. Kota
baru itu dinamakan Batavia sebagai pengganti nama Jayakarta.
J.P.
Coen
adalah Gubernur Jenderal VOC yang keempat dan keenam. Siapa gubernur jenderal
yang kelima. Mengapa J.P. Coen
menamakan kota itu Batavia? Adakah kaitan nama Batavia dengan Betawi? Kalau ada
kaitannya bagaimana penjelasannya. Kalau tidak ada kaitannya, dari mana
sebenarnya asal usul kata Betawi itu? J.P.
Coen adalah gubernur jenderal yang sangat bernafsu untuk memaksakan
monopoli. Ia juga dikenal sebagai peletak dasar penjajahan VOC di Indonesia.
Disertai dengan sikap congkak dan tindakan yang kejam, J.P.Coen berusaha
meningkatkan eksploitasi kekayaan bumi Nusantara. Cara-cara VOC untuk
meningkatkan eksploitasi kekayaan alam dilakukan antara lain dengan: 1. Merebut
pasaran produksi pertanian, biasanya dengan memaksakan monopoli, seperti
monopoli rempah-rempah di Maluku. 2. Tidak ikut aktif secara langsung dalam kegiatan
produksi hasil pertanian.
Cara memproduksi hasil
pertanian dibiarkan berada di tangan kaum Pribumi, tetapi yang penting VOC
dapat memperoleh hasil-hasil pertanian itu dengan mudah, sekalipun harus dengan
paksaan. 3. VOC sementara cukup menduduki tempat-tempat yang strategis. 4. VOC
melakukan campur tangan terhadap kerajaan-kerajaan di Nusantara, terutama
menyangkut usaha pengumpulan hasil bumi dan pelaksanaan monopoli. Dalam kaitan
ini VOC memiliki daya tawar yang kuat, sehingga dapat menentukan harga. 5.
Lembaga-lembaga pemerintahan tradisional/kerajaan masih tetap dipertahankan
dengan harapan bisa dipengaruhi/dapat diperalat, kalau tidak mau baru
diperangi. Setelah berhasil membangun Batavia dan meletakkan dasar-dasar
penjajahan di Nusantara, pada tahun 1623 J.P. Coen kembali ke negari Belanda.
Ia menyerahkan kekuasaannya kepada Pieter
de Carpentier. Tetapi oleh pimpinan VOC di Belanda, J.P. Coen diminta kembali ke Batavia. Akhirnya pada tahun 1627 J.P. Coen tiba di Batavia dan diangkat
kembali sebagai Gubernur Jenderal untuk jabatan yang kedua kalinya. Pada masa
jabatan yang kedua inilah terjadi serangan tentara Mataram di bawah Sultan Agung ke Batavia.
Batavia senantiasa
memiliki posisi yang strategis bagi VOC. Semua kebijakan dan tindakan VOC di
kawasan Asia dikendalikan dari markas besar VOC di Batavia. Di samping itu
Batavia juga terletak pada persimpangan atau menjadi penghubung jalur
perdagangan internasional. Batavia menghubungkan perdagangan di Nusantara
bagian barat dengan Malaka, India, kemudian juga menghubungkan dengan Nusantara
bagian timur. Apalagi Nusantara bagian timur ini menjadi daerah penghasil
rempah-rempah yang utama, maka posisi Batavia yang berada di tengah-tengah itu
menjadi semakin strategis dalam perdagangan rempah-rempah. » Tahukah kamu, apa
yang dimaksud politik devide et impera,
bagaimana praktiknya yang dilakukan VOC, sehingga daerah kekuasaan VOC
bertambah luas. Jelaskan secara logis dan sistematis! VOC semakin serakah dan
bernafsu untuk menguasai Nusantara yang kaya rempah-rempah ini. Tindakan
intervensi politik terhadap kerajaan-kerajaan di Nusantara dan pemaksaan
monopoli perdagangan terus dilakukan. Politik devide et impera dan berbagai
tipu daya juga dilaksanakan demi mendapatkan kekuasaan dan keuntungan
sebesar-besarnya. Sebagai contoh, Mataram yang merupakan kerajaan kuat di Jawa
akhirnya juga dapat dikendalikan secara penuh oleh VOC.
Hal ini terjadi setelah
dengan tipu muslihat VOC, Raja
Pakubuwana II yang sedang dalam keadaan sakit keras dipaksa untuk
menandatangani naskah penyerahan kekuasaan Kerajaan Mataram kepada VOC pada
tahun 1749. Tidak hanya kerajaan-kerajaan di Jawa, kerajaan-kerajaan di luar
Jawa berusaha ditaklukkan. Untuk memperkokoh kedudukannya di Indonesia bagian
barat dan memperluas pengaruhnya di Sumatera, VOC berhasil menguasai Malaka
setelah mengalahkan saingannya, Portugis pada tahun 1641. Berikutnya VOC
berusaha meluaskan pengaruhnya ke Aceh. Kerajaan Makassar di bawah Sultan
Hasanuddin yang tersohor di Indonesia bagian timur juga berhasil dikalahkan
setelah terjadi Perjanjian Bongaya tahun 1667. Dari Makasar VOC juga berhasil
memaksakan kontrak dan monopoli perdagangan dengan Raja Sulaiman dari Kalimantan Selatan. Sementara jauh sebelum itu
yakni tahun 1605 VOC sudah berhasil mengusir Portugis dari Ambon. VOC menjadi
berjaya setelah berhasil melakukan monopoli perdagangan rempah-rempah di
Kepulauan Maluku. Untuk mengendalikan pelaksanaan monopoli di kawasan ini
dilaksanakan Pelayaran Hongi. » Apa yang dimaksud dengan Pelayaran Hongi?
Bagaimana pelaksanannya sehingga keuntungan tetap jatuh di tangan VOC? Coba
jelaskan!
Pengaruh dan kekuasaan
VOC semakin meluas. Untuk memperkuat kebijakan monopoli ini di setiap daerah
yang dipandang strategis armada VOC diperkuat. Benteng-benteng pertahanan
dibangun. Sebagai contoh Benteng
Doorstede dibangun di Saparua, Benteng Nasau di Banda, di Ambon sudah ada Benteng Victoria, Benteng Oranye di Ternate, dan Benteng
Rotterdam di Makasar. Dalam rangka memperluas pengaruh dan kekuasaannya
itu, ternyata perhatian VOC juga sampai ke Irian/Papua yang dikenal sebagai
wilayah yang masih tertutup dengan hutan belantara yang begitu luas.
Penduduknya juga masih bersahaja dan primitif. Orang Belanda yang pertama kali
sampai ke Irian adalah Willem Janz. Bersama armandanya rombongan Willem Janz menaiki Kapal Duyke dan
berhasil memasuki tanah Irian pada tahun 1606. Willem Janz ingin mencari kebun tanaman rempah-rempah. Tahun 1616-
1617 Le Maire dan William Schouten mengadakan survei di daerah pantai timur
laut Irian dan menemukan Kepulauan Admiralty bahkan sampai ke New Ireland.
Dengan penemuan ini maka nama William diabadikan sebagai nama kepulauan,
Kepulauan Schouten. Pada waktu orang-orang Belanda sangat memerlukan bantuan
budak, maka banyak diambil dari orang-orang Irian. Pengaruh VOC di Irian
semakin kuat. Bahkan pada tahun 1667, Pulaupulau yang termasuk wilayah Irian
yang semula berada di bawah kekuasaan
Kerajaan Tidore sudah
berpindah tangan menjadi daerah kekuasaan VOC. Dengan demikian daerah pengaruh
dan kekuasaan VOC sudah meluas di seluruh Nusantara. » Tahukah kamu apa yang
dimaksud kolonialisme dan apa itu imperialisme? Coba jelaskan! (Ingat kata
kunci: kolonialisme berasal dari kata colonia dan imperialism berasal dari kata
imperate). Memahami uraian di atas, jelas bahwa VOC yang merupakan kongsi
dagang itu berangkat dari usaha mencari untung kemudian dapat menanamkan
pengaruh bahkan kekuasaannya di Nusantara. Fenomena ini juga terjadi pada
kongsi dagang milik bangsa Eropa yang lain. Artinya, untuk memperkokoh tindakan
monopoli dan memperbesar keuntungannya orang-orang Eropa itu harus memperbanyak
daerah yang dikuasai (daerah koloninya). Tidak hanya daerah yang dikuasai
secara ekonomi, kongsi dagang itu juga ingin mengendalikan secara politik atau
memerintah daerah tersebut.
Bercokollah kemudian
kekuatan kolonialisme dan imperialisme. Dalam praktiknya, antara kolonialisme
dan imperialisme sulit untuk dipisahkan. Kolonialisme merupakan bentuk
pengekalan imperialisme (Taufik Abdullah dan A.B. Lapian (ed), 2012). Muara
kedua paham itu adalah penjajahan dari negara yang satu terhadap daerah atau
bangsa yang lain. Sistem inilah yang umumnya diterapkan bangsa-bangsa Eropa
yang datang di Kepulauan Nusantara, baik Portugis, Spanyol, Inggris maupun
Belanda. Berangkat dari motivasi untuk memperbaiki taraf kehidupan ekonomi
kemudian meningkat menjadi nafsu untuk menguasai dan mengeruk kekayaan dan
keuntungan sebanyak-banyaknya dari daerah koloni untuk kejayaan bangsanya
sendiri. Pihak atau bangsa lain dipandang sebagai musuh dan harus disingkirkan.
Sifat keangkuhan dan keserakahan telah menghiasi perilaku kaum penjajah. Inilah
sifat-sifat yang sangat dibenci dan tidak diridhoi oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Demikian halnya dengan
VOC, tidak sekedar menjadi sebuah kongsi dagang yang berusaha untuk mencari
untung tetapi juga ingin menanamkan kekuasaannya di Nusantara. VOC dengan
hak-hak dan kewenangan yang diberikan pemerintah dan parlemen Belanda telah
melakukan penjajahan dan menguatkan akar kolonialisme dan imperialisme di
Nusantara. Melalui cara-cara pemaksaan monopoli perdagangan, politik memecah
belah serta tipu muslihat yang sering disertai tindak peperangan dan kekerasan,
semakin memperluas daerah kekuasaan dan memperkokoh kemaharajaan VOC. Sekali lagi
tindak keserakahan dan kekerasan yang dilakukan oleh VOC itu menunjukkan mereka
tidak mau bersyukur atas karunia yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa. Oleh
karena itu, wajar kalau timbul perlawanan dari berbagai daerah misalnya dari
Aceh, Banten, Demak, Mataram, Banjar, Makasar, dan Maluku.
c.
VOC
Menuju Kebangkrutan
Pada abad ke-17 hingga
awal abad ke-18, VOC mengalami puncak kejayaan. Penguasa dan kerajaan-kerajaan
lokal berhasil diungguli. Kerajaan-kerajaan itu sudah menjadi bawahan dan
pelayan kepentingan VOC. Jalur perdagangan yang dikendalikan VOC menyebar luas
membentang dari Amsterdam, Tanjung Harapan, India sampai Irian/Papua.
Keuntungan perdagangan rempahrempah juga melimpah. Namun di balik itu ada
persoalan-persoalan yang bermunculan. Semakin banyak daerah yang dikuasai
ternyata juga membuat pengelolaan semakin kompleks. Semakin luas daerahnya,
pengawasan juga semakin sulit. Kota Batavia semakin ramai dan semakin padat.
Orang-orang timur asing seperti Cina dan Jepang diizinkan tinggal di Batavia. Sebagai
pusat pemerintahan VOC, Batavia juga semakin dibanjiri penduduk, sehingga tidak
jarang menimbulkan masalah-masalah sosial. Pada tahun 1749 terjadi perubahan
yang mendasar dalam lembaga kepengurusan VOC. Pada tanggal 27 Maret 1749,
Parlemen Belanda mengeluarkan UU yang menetapkan bahwa Raja Willem IV sebagai penguasa tertinggi VOC. Dengan demikian,
anggota pengurus “Dewan Tujuh Belas”
yang semula dipilih oleh parlemen dan provinsi pemegang saham (kecuali Provinsi
Holland), kemudian sepenuhnya menjadi tanggung jawab Raja. Raja juga menjadi
panglima tertinggi tentara VOC. Dengan demikian VOC berada di bawah kekuasaan
raja. Pengurus VOC mulai akrab dengan pemerintah Belanda.
Kepentingan pemegang
saham menjadi terabaikan. Pengurus tidak lagi berpikir memajukan usaha
perdagangannya, tetapi berpikir untuk memperkaya diri. VOC sebagai kongsi
dagang swasta keuntunganya semakin merosot. Bahkan tercatat pada tahun 1673 VOC
tidak mampu membayar dividen. Kas VOC juga merosot tajam karena serangkaian
perang yang telah dilakukan VOC dan beban hutang pun tidak terelakkan.
Sementara itu para pejabat VOC juga semakin feodal. Pada tanggal 24 Juni 1719
Gubernur Jenderal Henricus Zwaardecroon mengeluarkan
ordonansi untuk mengatur secara rinci cara penghormatan terhadap gubernur
jenderal, kepada Dewan Hindia beserta isteri dan anak-anaknya. Misalnya, semua
orang harus turun dari kendaraan bila berpapasan dengan para pejabat tinggi
tersebut, warga keturunan Eropa harus menundukkan kepala, dan warga bukan orang
Eropa harus menyembah. Kemudian Gubernur Jenderal Jacob Mosel juga mengeluarkan
ordonansi baru tahun 1754.
Ordonansi ini mengatur
kendaraan kebesaran. Misalnya kereta ditarik enam ekor kuda, hiasan berwarna
emas dan kusir orang Eropa untuk kereta kebesaran gubernur jenderal, sedang
untuk anggota dewan hindia kuda yang menarik kereta hanya empat ekor dan
hiasannya warna perak. Nampaknya para pejabat VOC sudah gila hormat dan ingin
berfoya-foya. Sudah barang tentu ini juga membebani anggaran. Posisi jabatan
dan berbagai simbol kehormatan tersebut tidaklah lengkap tanpa hadiah dan
upeti. Sistem upeti ini ternyata juga terjadi di kalangan para pejabat, dari
pejabat di bawahnya kepada pejabat yang lebih tinggi. Hal ini semua terkait
dengan mekanisme pergantian jabatan di tubuh organisasi VOC. Semua bermuatan
korupsi. Gubernur Jenderal Van Hoorn konon menumpuk harta sampai 10 juta gulden
ketika kembali ke Belanda pada tahun 1709, sementara gaji resminya hanya
sekitar 700 gulden sebulan. Gubernur Maluku berhasil mengumpulkan kekayaan
20-30 ribu gulden dalam waktu 4-5 tahun, dengan gaji sebesar 150 gulden per
bulan. Untuk menjadi karyawan VOC juga harus dengan menyogok. Pengurus VOC di
Belanda memasang tarif sebesar f 3.500,- bagi yang ingin menjadi pegawai
onderkoopman (pada hal gaji resmi per bulan sebagai onderkoopman hanya f.40,-),
untuk menjadi kapitein harus menyogok f.2000,- dan begitu seterusnya yang semua
telah merugikan uang lembaga.
Demikianlah para
pejabat VOC terjangkit penyakit korupsi karena ingin kehormatan dan kemewahan
sesaat. Beban utang VOC semakin berat, sehingga akhirnya VOC sendiri bangkrut.
Bahkan ada sebuah ungkapan, VOC kepanjangan dari Vergaan Onder Corruptie
(tenggelam karena korupsi) (Taufik Abdullah dan A.B. Lapian (ed), 2012). »
Bagaimana penilaianmu terkait dengan korupsi yang dilakukan para pejabat VOC,
bagaimana kalau dibandingkan dengan keadaan di Indonesia saat ini? Dalam
kondisi bangkrut VOC tidak dapat berbuat banyak. Menurut penilaian pemerintah
keberadaan VOC sebagai kongsi dagang yang menjalankan roda pemerintahan di
negeri jajahan tidak dapat dilanjutkan lagi. VOC telah bangkrut, oleh karena
itu, pada tanggal 31 Desember 1799 VOC dinyatakan bubar. Semua utang piutang
dan segala milik VOC diambil alih oleh pemerintah. Pada waktu itu sebagai
Gubernur Jendral VOC yang terakhir Van Overstraten masih harus bertanggung
jawab tentang keadaan di Hindia Belanda. Ia bertugas mempertahankan Jawa dari
serangan Inggris.
Referensi
:
http://siapbelajar.com/wp-content/uploads/2014/09/Sejarah-SMA-Kelas-11-Buku-Siswa-Kur2013-A-Se1.pdf
3. SISTEM TANAM PAKSA
a.
Lahirnya
Sistem Tanam Paksa Kopi Di Parahiyangan
Sistem tanam paksa di
Indonesia selalu di kaitkan dengan Gubernur Jenderal Johannes Van Den Bosch, yang dimana sebagai penggagas sistem tanam
paksa di Indonesia. Sistem tanam paksa tersebut dijalankan dari tahun
1830-1870. Namun bila kita mengacu pada pendapat Burger yang
mengatakan bahwa “penanaman kopi yang mulai dilakukan oleh kompeni dalam abad
ke 18 di Parahiyangan” (Burger, 1962, hal. 101). Disini Burger mengatakan
bahwa sistem tanam paksa di Indonesia sudah ada sejak abad ke18, dan yang
ditanam disana bukanlah tebu, nila atau indigo melainkan kopi. Dikarenakan kopi
pada waktu itu menjadi perimadona dunia dan harganya sangat mahal. Terlepas
daripada itu ditambah pula pada waktu itu Pemerintah Belanda mengalami defisit
keuangan yang diakibatkan oleh perang Diponegoro 1825-1830, perang kemerdekaan
Belgia 1830 dan ditambah pulautang luar negeri Belanda yang amat besar. Dan
oleh sebab faktor itu akhirnya pemerintah Belanda pun mengeluarkan
kebijakan untuk mengirimkan Gubernur Jendral Baru ke Indonesia untuk
menggantikan Gubernut Jendral Sebelumnya.
Gubernur Jendral baru
yaitu Johannes Van Den Bosch
dansetelah datang ke Indonesia. Dia mengeluarkan kebijakan yaitu yang dikenal dengan
sistem tanam paksa atau dalam bahasa Belanda disebut Cultuurstelsel. Dan salah satunya yaitu melanjutkan sistem tanam
paksa yang sudah ada di Parahiyangan, yaitu sistem tanam paksa kopi. Kopi yang
ditanam di Parahiyangan berasal dari India Selatan dan bawa oleh pemerintah
kolonial keBatavia dan disebarkan ke daerah Parahiyangan. Inilah yang
menyebabkan lahirnya sistem tanam paksa kopi di Parahiyangan.
b.
Pelaksanaan,
Proses Produksi Dan Pendistribusian Kopi
“Dalam pelaksanaanya
kebun-kebun kopi dibuat diatas tanah-tanah liar dengan mempergunakan
pekerja-pekerja wajib” (Burger, 1962, hal. 101). Namun dalam kenyataannya
tanaman kopi tidak hanya ditanam pada tanah-tanah liar saja, namun akibat dari
pemerintah Belanda yang barambisi ingin menambah hasil produksi tanaman kopi,
akhirnya penduduk yang memiliki lahanpun diwajibkan untuk menyisihkan seperlima
tanahnya untuk ditanami kopi. Dan bagi penduduk yang tidak memiliki lahan
diwajibkan untuk bekerja pada lahan kopi tersebut. Dalam pelaksanaan tanam
paksa kopi di parahiyangan menurut Profesor Jan Breman, Guru Besar Emiritus pada Universiteit Van Amsterdam, menyatakan ‘sistem
tanam paksa kopi di Parahiyangan dipimpin oleh para bangsawan setempat yaitu
para Menak danSentana, yaitu adalah bangsawan Sunda yang lebih
rendah.’(Wibisono, 2010).
Akibat dikerahkannya
bangsawan lokal tersebut beban petani sundapun semakin berat, dikarenakan selain
harus menyerahkan hasil tanaman kopi pada pemerintah Belanda petanipun harus menyerahkan hasil
panen padi mereka pada bangsawan setempat. Itu merupakan semacam gaji bagi
para Menak dan Sentana. Dalam pelaksanaan sistem tanam paksa kopi ini banyak
penyimpangan-penyimpangan diantaranya; tanah petani yang dijadikan lahan
penanaman kopi melebihi seperlima, tanah yang seharusnya dijadikan lahan
penanaman kopi bebas pajak namun tetap dikenakan pajak, para pekerja yang seharusnya
bekerja tidak melebihi masa tanam padi namun melibihi sehingga sangat membebani
petani, kegagalan panen yang seharusnya ditanggung pemerintah namun ditanggung
oleh rakyat, kelebihan hasil pertanian yang seharusnya
diperuntukan untuk rakyat namun diambil oleh pemerintah. Ditambah pula pada
waktu petani Sunda hanya boleh berada di dua tempat yaitu desanya atau kebun
kopi. Hukuman yang berlaku pun sangat keras bagi pekerja yang malas akan
mendapat hukuman cambuk rotan atau pengasingan ke daerah lain. Dan disini penduduk
semakin terjepit mereka hanya dijadikan budak dan ditindas oleh pemerintah
Belanda. Dalam proses pendistribusiannya kopi dari hasil tanam paksa yang dilakukan
di Parahiyangan dari berbagai sumber yang saya dapatkan yaitu mula-mula hasil panen dikumpulkan oleh para petani, lalu dibawan kepara para bangsawan setempat
atau para Menak dan Sentana, lalu dari para bangsawan tersebut di berikan pada pemerintah kolonial untuk dikumpulkan di gudang dan selanjutnya di bawa ke Batavia untuk di kirim ke Amsterdam yaitu
disana ada semacam perusahaan yang mengurus lelang produk-produk tanam
paksa seperti kopi dan nila dan lalu kopi dijual ke benua Amerika atau ke negara
lain di Eropa.
c.
Faktor-Foktor
Yang Mengakibatkan Sistem Tanam Paksa Kopi Berakhir
Menurut pendapat
Profesor Jan Breman dalam bukunya
menyatakan ‘tanam paksa kopi dihapus akibat perlawanan dari para petani Sunda,
dan inilah faktor yang mengakibatkan tanam paksa kopi di cabut dan
bukan pertimbangan pertimbangan lain yang dilakukan oleh penguasa kolonial.’
(Wibisono, 2010). Dikarenakan banyaknya penyimpangan-penyimpangan dalam
pelaksanaan sistem tanam paksa kopi di Parahiyangan seperti yang telah di
jelaskan dalam bagian kedua banyak hak-hak petani yang yang dibatasi oleh
pemerintah kolonial dan timbulnya bencana kelaparan akibat berkurangnya
lahan penanaman untuk padi yang digantikan dengan tanaman kopi,
timbulnya harga-harga yang melambung, lalu timbulnya bencana kemeskinan dan
diperparah oleh wabah penyakit serta kematian yang timbul akibat kekerasan
dalam tanam paksa menyebabkan terjadinya perlawan dari para
petani Sunda, dan dari sini para petani Sunda mulai mulai melakukan perlawanan-perlawan serta membenci dan menolak menanam kopi. Dan
akhirnya pada tahun 1850 budi daya kopi dari Parahiyangan tidak lagi bisa memenuhi
permintaan pasar dunia. Dan terlepas dari faktor-faktor diatas terdapat pula
kritik-kritik dari berbagai golongan diantaranya datang dari kaum liberalis
yang menyatakan bahwa tanam paksa tidak
sesuai dengan ekonomi liberal atau eksploitasi berlebih terhadap
Inlander (pribumi), lalu dari jurnalis
Belanda E.S.W.Roodra Van Eisingan
kerap menyuarakan pembebasan bagi rakyat Nusantara, lalu dari Baron Van Hoevel Ia sering melancarkan
kecaman terhadap pelaksanaan tanam paksa, lalu dari Eduard Douwes Dekker mengarang buku
Max Havelaar 1860. Dalam bukunya Ia mengenakan nama samaran Maltatuli, dalam
bukunya menceritakan kondisi masyarakat petani yang menderita akibat tanam
paksa dan tekanan pemerintah kolonial. Dan terakhir adalah tulisan C. Th Van Deventer dalam bukunya Een Eereschuld, yang membeberkan
kemiskinan di tanah jajahan belanda. Akibat dari kritik-kritik tersebut
akhirnya pemerintah Belanda secara berangsur-angsur mulai menghapuskan tanam
paksa kopi dan akhirnya pada 1870 sistem tanam kopi di Parahiangan dihentikan
oleh pemerintah kolonial Belanda.
Referensi
:
https://www.academia.edu/3841775/Tanam_Paksa_Kopi_Di_Parahiyangan_1830_1870
4. SISTEM EKONOMI INDONESIA
4.1 PENGERTIAN SISTEM EKONOMI
Sistem ekonomi merupakan cabang
ilmu ekonomi yang membahas persoalan pengambilan keputusan dalam tata susunan
organisasi ekonomi untuk menjawab persoalan-persoalan ekonomi untuk mewujudkan
tujuan nasional suatu negara. Menurut Dumairy (1966), Sistem ekonomi adalah suatu sistem yang
mengatur serta menjalin hubungan ekonomi antarmanusia dengan seperangkat
kelembagaan dalam suat tatanan kehidupan, selanjutnya dikatakannya pula bahwa
suatu sistem ekonomi tidaklah harus berdiri sendiri, tetapi berkaitan dengan
falsafah, padangan dan pola hidup masyarakat tempatnya berpijak. Sistem ekonomi
sesungguhnya merupakan salah satu unsur saja dalam suatu supra sistem kehidupan
masyarakat. Sistem ekonomi merupakan bagian dari kesatuan ideologi kehidupan
masyarakat di suatu negara.
SISTEM EKONOMI
1.
Sistem
Ekonomi Kapitalis
Dalam Sanusi, sistem ekonomi
kapitalis adalah suatu sistem ekonomi dimana kekayaan yang produktif terutama
dimiliki secara pribadi dan produksi terutama dilakukan untuk dijual. Adapun
tujuan pemilikan secara pribadi ialah untuk memperoleh suatu keuntungan/laba
yang cukup besar dari hasil dari menggunakan kekayaan yang produktif. Jelas
sekali bahwa motif mencari keuntungan/laba, bersama sama dengan
lembaga warisan dipupuk oleh hukum perjanjian sebagai mesin kapitalisme yang
besar. Terdapat enam azas yang dilihat sebagai ciri dari sistem ekonomi
kapitalis, yaitu sebagai berikut :
a. Hak
milik pribadi
b. Kebebasan
berusaha dan kebebasan memilih
c. Motif
kepentingan diri sendiri
d. Persaingan
e. Harga
ditentukan oleh mekanisme pasar
f. Peranan
terbatas pemerintah
Kelebihan
sistem ekonomi kapitalis :
a. Lebih
efisien dalam memanfaatkan sumber-sumber daya dan distribusi
barang- barang.
b. Kreativitas
masyarakat menjadi tinggi karena adanya kebebasan melakukansegala hal yang
terbaik dirinya.
c. Pengawasan
politik dan sosial minimal, karena tenaga waktu dan biaya yang diperlukan lebih
kecil.
Kelemahan-kelemahan
sistem ekonomi kapitalis :
a. Tidak
ada persaingan sempurna. Yang ada persaingan tidak sempurna dan persaingan
monopolistik.
b. Sistem
harga gagal mengalokasikan sumber-sumber secara efisien, karenaadanya
faktor-faktor eksternalitas (tidak memperhitungkan yang menekan upah buruh
dan lain-lain).
c. Munculnya
pemikiran-pemikiran baru yang lebih terpelajar dan lebih rasional terhadap kehidupan
manusia dan masyarakat
d. Adanya
tuntutan-tuntutan berlakunya demokrasi dari hasil Revolusi Perancis.
4.2 SISTEM EKONOMI INDONESIA
Sistem perekonomian
yang diterapkan di Indonesia, kapitalisme, sosialisme, ataugabungan dari kedua
system tersebut ? untuk menjawab pertanyaan ini, Dumairy (1996) menegaskan sebagai berikut. “ditinjau berdasarkan sistem
pemilikan sumber daya ekonomi atau faktor-faktor produksi, tak terdapat alasan
untuk menyatakan bahwa sistem ekonomi kita adalah kapitalistis. Sama halnya,
tak pula cukup argmentasi untuk mengatakan, bahwa kita menganut sistem ekonomi
sosialis. Indonesia mengakui pemilikan individual atas faktor-faktor
produksi, kecuali untuk sumber daya-sumber daya yang menguasai hajat
hidup orang banyak, dikuasai oleh Negara. Hal ini diatur dengan tegas oleh
pasal 33 UUD 1945. Jadi, secara constitutional,
sistem ekonomi Indonesia bukan kapitalisme dan bukan pula sosialisme.
Perbedaan antara sistem ekonomi kapitalisme atau sistem ekonomi sosialisme dengan
sisitem ekonomi yang dianut oleh Indonesia adalah pada kedua makna yang terkandung
dalam keadilan sosial yang merupakan sila ke lima Pancasila, yaitu prinsip pembagian
pendapatan yang adil dan prinsip demokrasi ekonomi. Kedua prinsip ini
sebenarnya merupakan pencerminan sistem ekonomi pancasil, yang jelas jelas menentang
sistem individualism liberal atau free
fight liberalism (sistem ekonomi kapitalisme ekastern), dan sistem komando
(sistem ekonomi sosialisme ekstern) (Tambunan, 2006b).
Namun dalam praktiknya, sistem ekonomi Indonesia dalam beberapa dekade belakangan ini sejak era Orde Baru
cenderung semakin kapitalis dan sangat berbeda dengan era orde lama atau
era Soekarmo. Soekarno sebagai bapak proklamator kemerdekaan Indonesia, sangat
membenci pemikiran pemikiran Barat, termasuk sistem ekonomi liberal/kapitalisme.
Soekarno menganggap sistem kapitalisme liberalism selama penjaajahan
belanda telah benar benar menyengsarakan rakyat
Indonesia, sehingga aliran ini harus dibenci dan diusir dari Indonesia.
Menurut Soekarno untuk menusir dan mengimbangi kekuatan ekonomi Barat
berlandaskan kapitalisme-liberalisme, Indonesia harus menerapkan pemikiran dari
Marhaenisme yaitu Marxisme. Tetapi pada tahun 1959 paham liberalism kapitalisme
secara konstitusional dirolak dengan diberlakukannya UUD1945 sebagai landasan
sistem ekonomi nasional. Namun demikian dalam praktiknya Soekarno menerapakan
sistem ekonomi komando seperti yang diterapkan khususnya
di Negara-Negara yang beralairan komunis, seperti Uni soviet
(sekarang Rusia), Negara–Negara eropa timur (sekarang disebut Negara Negara
transisi), dan Cina. Dengan sistem ini, semua renacana dan keputusan yang
menyangkut pembangunan ekonomi, termasuk pemilihan industri yang akan
dibangun, ditentukan sepenuhnya oleh pemerintah pusat (Tambunan,2006b).
Dalam beberapa tahun belakangan ini, sistem ekonomi Indonesia cendrung semakin kapitalis
dengan ke ikut sertaannya dalam upaya liberalisasi perdagangan internasional,
biak dalam konteks perjanjian perdagangan bebas antara anggota
asosiasi Negara-negara asia tenggara (ASEAN), yang dikenal
dengan sebutan ASEAN FreeTrade Area atau
AFTA, maupun dalam konteks kesepakatan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Dalam bidang investasi, juga semakin banyak sektor atau sub sektor yang terbuka
bebas bagi penanaman modal asing (PMA). Selain itu, pemerintah
dalam beberapa tahun belakangan ini sudah mengurangi
berbagai subsidi, terutama subsidi, terutama subsidi bahan bakar
minyak (BBM) yang semakin memperkuat mekanisme pasar di dalam perekonomian
nasional.
Referensi
:
https://www.academia.edu/8197208/SISTEM_EKONOMI_INDONESIA
5. ERA PENDUDUKAN JEPANG
5.1
Masuknya
Jepang Ke Indonesia
Tentu, kalian masih
ingat bahwa Jepang dengan mudah berhasil menguasai daerah-daerah Asia Timur dan
Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Mengapa demikian? Karena:
1. Jepang
telah berhasil menghancurkan pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di Pearl
Harbour, Hawaii pada tanggal 7 Desember 1941;
2. Negeri-negeri
induk (Inggris, Perancis, dan Belanda) sedang menghadapi peperangan di Eropa
melawan Jerman;
3. Bangsa-bangsa
di Asia sangat percaya dengan semboyan Jepang (Jepang pemimpin Asia, Jepang
cahaya Asia, dan Jepang pelindung Asia) sehingga tidak memberi perlawanan.
Bahkan, kehadiran Balatentara Jepang disambut dengan suka cita karena Jepang
dianggap sebagai ‘saudara tua’ yang akan membebaskan bangsa-bangsa Asia dari
belenggu penjajahan negara-negara Barat.
Secara
resmi Jepang telah menguasai Indonesia sejak tanggal 8 Maret 1942, ketika
Panglima Tertinggi Pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat di Kalijati,
Bandung,. Jepang tanpa banyak menemui perlawanan yang berarti berhasil
menduduki Indonesia. Bahkan, bangsa Indonesia menyambut kedatangan balatentara
Jepang dengan perasaan senang, perasaan gembira karena akan membebaskan bangsa
Indonesia dari belenggu penjajahan bangsa Belanda.
Sebenarnya,
semboyan Gerakan 3A dan pengakuan sebagai ‘saudara
tua’ yang disampaikan Jepang merupakan tipu muslihat agar bangsa Indonesia
dapat menerima kedatangan Balatentara Jepang. Pada awalnya, kedatangan pasukan
Jepang disambut dengan hangat oleh bangsa Indonesia. Namun dalam kenyataannya,
Jepang tidak jauh berbeda dengan negara imperialis lainnya. Jepang termasuk
negara imperialis baru, seperti Jerman dan Italia. Sebagai negara imperialis
baru, Jepang membutuhkan bahan-bahan mentah untuk memenuhi kebutuhan
industrinya dan pasar bagi barangbarang industrinya. Oleh karena itu, daerah
jajahan menjadi sangat penting artinya bagi kemajuan industri Jepang. Apalah
arti kemajuan industri apabila tidak didukung dengan bahan mentah (baku) yang
cukup dengan harga yang murah dan pasar barang hasil industri yang luas.
Dengan
demikian, jelas bahwa tujuan kedatangan Balatentara Jepang ke Indonesia adalah
untuk menanamkan kekuasaannya, untuk menjajah Indonesia. Artinya, semboyan
Gerakan 3A dan pengakuan sebagai ‘saudara tua’ merupakan semboyan yang penuh
kepalsuan. Hal itu dapat dibuktikan dari beberapa kenyataan yang terjadi selama
pendudukan Balatentara Jepang di Indonesia. Bahkan, perlakuan pasukan Jepang
lebih kejam sehingga bangsa Indonesia mengalami kesengsaraan.
Sumber-sumber
ekonomi dikontrol secara ketat oleh pasukan Jepang untuk kepentingan peperangan
dan industri Jepang, melalui berbagai cara berikut:
a. Tidak
sedikit para pemuda yang ditangkap dan dijadikan romusha. Romusha adalah tenaga
kerja paksa yang diambil dari para pemuda dan petani untuk bekerja paksa pada
proyek-proyek yang dikembangkan pemerintah pendudukan Jepang. Banyak rakyat
kita yang meninggal ketika menjalankan romusha, karena umumnya mereka menderita
kelaparan dan berbagai penyakit.
b. Para
petani diawasi secara ketat dan hasil-hasil pertanian harus diserahkan kepada
pemerintah Balatentara Jepang.
c. Hewan
peliharaan penduduk dirampas secara paksa untuk dipotong guna memenuhi
kebutuhan konsumsi perang.
5.2
Kebijakan
Pemerintah Pendudukan Jepang
Setelah menduduki
Indonesia Jepang mengambil berbagai kerbijakan. Kebijakan Pemerintah
Balatentara Jepang, meliputi berbagai bidang, diantaranya;
a.
Bidang
Ekonomi
1) Perluasan
areal persawahan. Setelah menduduki Indonesia, Jepang melihat bahwa produksi
beras tidak akan mampu memenuhi kebutuhan. Oleh karena itu, perlu dilakukan
perluasan areal persawahan guna meningkatkan produksi beras. Meskipun demikian
produksi pangan antara tahun 1941-1944 terus menurun.
2) Pengawasan
pertanian dan perkebunan. Pelaksanaan pertanian diawasi secara ketat dengan
tujuan untuk mengendalikan harga barang, terutama beras. Hasil pertanian diatur
sebagai berikut: 40% untuk petani, 30% harus dijual kepada pemerintah Jepang
dengan harga yang sangat murah, dan 30% harus diserahkan ke ‘lumbung desa’.
Ketentuan itu sangat merugikan petani dan yang berani melakukan pelanggaran
akan dihukum berat. Badan yang menangani masalah pelanggaran disebut Kempetai
(Korps Polisi Militer), suatu badan yang sangat ditakuti rakyat.
Pengawasan
terhadap produksi perkebunan dilakukan secara ketat. Jepang hanya mengizinkan
dua jenis tanaman perkebunan yaitu karet dan kina. Kedua jenis tanaman itu
berhubungan langsung dengan kepentingan perang. Sedangkan tembakau, teh, kopi
harus dihentikan penanamannya karena hanya berhubungan dengan kenikmatan.
Padahal, ketiga jenis tanaman itu sangat laku di pasaran dunia. Dengan
demikian, kebijakan pemerintah Jepang di bidang ekonomi sangat merugikan
rakyat. Pengerahan sumber daya ekonomi untuk kepentingan perang. Untuk
menguasai hasil-hasil pertanian dan kekayaan penduduk, Jepang selalu berdalih
bahwa untuk kepentingan perang. Setiap penduduk harus menyerahkan kekayaannya
kepada pemerintah Jepang. Rakyat harus menyerahkan barang-barang berharga (emas
dan berlian), hewan, bahan makanan kepada pemerintah Jepang. Untuk memperlancar
usaha usahanya, Jepang membentuk Jawa Hokokai (Kebaktian Rakyat Jawa) dan Nogyo
Kumiai (Koperasi Pertanian). Kebijakan-kebijakan pemerintah Jepang di bidang
ekonomi telah mengakibatkan kehidupan rakyat Indonesia semakin sengsara dan
penuh penderitaan. Penderitaan dan kesengsaraan rakyat Indonesia selama
pendudukan Jepang lebih buruk apabila dibandingkan dengan penderitaan dan
kesengsaraan pada masa penjajahan Belanda. Padahal, Jepang menduduki Indonesia
hanya tiga setengah tahun, sedangkan Belanda menjajah Indonesia selama tiga
setengah abad.
b.
Bidang
Pemerintahan
Pada dasarnya
pemerintahan pendudukan Jepang adalah pemerintahan militer yang sangat
diktator. Untuk mengendalikan keadaan, pemerintahan dibagi menjadi beberapa
bagian. Jawa dan Madura diperintah oleh Tentara ke 16 dengan pusatnya di
Jakarta (dulu Batavia). Sumatera diperintah oleh Tentara ke 25 dengan pusatnya
di Bukittinggi (Sumbar). Sedangkan Indonesia bagian Timur diperintah oleh
Tentara ke 2 (Angkatan Laut) dengan pusatnya di Makasar (Sulsel). Pemerintahan
Angkatan Darat disebut Gunseibu, dan pemerintahan Angkatan Laut disebut
Minseibu. Masing-masing daerah dibagi menjadi beberapa wilayah yang lebih
kecil. Pada awalnya, Jawa dibagi menjadi tiga provinsi (Jawa Barat, Jawa
Tengah, dan Jawa Timur) serta dua daerah istimewa, yaitu Yogyakarta dan
Surakarta. Pembagian ini diang-gap tidak efektif sehingga dihapuskan. Akhirnya,
Jawa dibagi menjadi 17 Karesidenan (Syu) dan diperintah oleh seorang Residen
(Syucokan).
Keresidenan terdiri
dari kotapraja (Syi), kabupaten (Ken), kawedanan atau distrik (Gun), kecamatan
(Son), dan desa (Ku). Sumatera dibagi menjadi 10 karesidenan dan beberap
sub-karesidenan (Bunsyu), distrik, dan kecamatan. Sedangkan daerah Indonesia
Timur yang dikuasai Angkatan Laut Jepang dibagi menjadi tiga daerah kekuasaan,
yaitu: Kalimantan, Sulawesi, dan Seram (Maluku dan Papua). Masing-masing daerah
itu dibagi menjadi beberapa karesidenan, kabupaten, sub-kabupaten (Bunken),
distrik, dan kecamatan. Pembagian daerah seperti di atas dimaksudkan agar semua
daerah dapat diawasi dan dikendalikan untuk kepentingan pemerintah balatentara
Jepang. Namun, untuk menjalankan pemerintahan yang efektif dibutuhkan jumlah
personil (pegawai) yang banyak jumlahnya. Sedangkan jumlah orang Jepang yang
ada di Indonesia tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan tenaga dalam bidang
pemerintahan.
Untuk mengawai dan
menjalankan pemerintahan secara efektif merupakan tantangan yang berat karena
terbatasnya jumlah pegawai atau orang-orang yang dapat dipercaya untuk memegang
jabatan penting dalam pemerintahan. Untuk mengatasi kekurangan jumlah pegawai,
pemerintah Jepang dapat menempuh beberapa pilihan, di antaranya:
1. Memanfaatkan
orang-orang Belanda yang masih ada di Indonesia. Pilihan ini sangat tidak
mungkin karena Jepang sedang menanamkan sikap anti Belanda di kalangan
pen-duduk Indonesia.
2. Menggunakan
tenaga Timur Asing (Cina). Pilihan ini juga sangat berat karena Cina dianggap
sebagai lawan politik Jepang yang paling berbahaya untuk mewujudkan cita-cita
Jepang, yaitu membangun Asia Timur Raya.
3. Memanfaatkan
penduduk Indonesia. Pilihan ini dianggap yang paling realistik karena sesuai
dengan semboyan ‘Jepang sebagai saudara tua’ yang ingin membebaskan suadara
mudanya dari belenggu penjajahan bangsa Eropa. Di samping itu, pemakaian bangsa
Indonesia sebagai dalih agar bangsa Indonesia benar-benar bersedia membantu
untuk memenangkan perang yang sedang dilakukan Jepang.
Sebenarnya,
pilihan-pilihan di atas sama-sama tidak menguntungkan. Akhirnya, dengan
berbagai pertimbangan (bahkan terpaksa) Jepang memilih penduduk Indonesia untuk
membantu menjalankan roda pemerintahan. Jepang pun dengan berat harus
menyerahkan beberapa jabatan kepada orang Indonesia. Misalnya, Departemen
Urusan Agama dipimpin oleh Prof. Husein Djajadiningrat, serta Mas Sutardjo
Kartohadikusumo dan R.M.T.A. Surio sebagai Residen Jakarta dan Residen
Bojonegoro. Di samping itu, beberapa tokoh nasional yang mendapat kepercayaan
untuk ikut menjalankan roda pemerintahan adalah Ir. Soekarno, Mr. Suwandi, dr.
Abdul Rasyid, Prof. Dr. Supomo, Mochtar bin Prabu Mangkunegoro, Mr. Muh, Yamin,
Prawoto Sumodilogo, dan sebagainya. Bahkan, kesempatan untuk duduk dalam Badan
Pertimbangan Pusat (Chuo Sangi In), semacam Volksraad pada zaman Belanda semakin
terbuka.
Kesempatan
untuk menduduki beberapa jabatan dalam pemerintahan Jepang dan menjalankan roda
pemerintahan merupa-kan pengalaman yang berharga bagi bangsa Indonesia,
terutama setelah Indonesia merdeka. Sebagai bangsa yang merdeka, bangsa Indonesia
harus mampu menjalankan pemerintahan secara baik. Oleh karena itu, pengalaman
pada masa pemerin-tahan Jepang merupakan modal yang sangat berguna karena
bangsa Indonesia memiliki kemampuan untuk mengelola orga-nisasi besar seperti
negara.
c.
Bidang
militer
Sejak awal
pendudukannya, Jepang selalu berusaha menarik hati bangsa Indonesia agar
bersedia membantu pemerintah Jepang dalam usaha untuk memenangkan peperangan
melawan Sekutu. Bangsa Indonesia hampir selalu dilibatkan dalam berbagai
organisasi militer maupun organisasi semi militer. Beberapa organisasi militer
yang dibentuk pemerintah Jepang, diantaranya:
1) Heiho
(pembantu prajurit Jepang) adalah kesatuan militer yang dibentuk oleh
pemerintah Jepang yang beranggotakan para pemuda Indonesia. Heiho menjadi bagian
Angkatan Darat maupun Angkatan Laut Jepang. Anggota Heiho mendapat latihan
kemiliteran agar mampu menggantikan prajurit Jepang di dalam peperangan. Para
anggota Heiho mendapat latihan untuk menggunakan senjata (senjata anti pesawat,
tank, artileri medan, mengemudi, dan sebagainya). Namun, tidak ada satupun
anggota Heiho yang berpangkat perwira. Pangkat perwira hanya dipeuntukkan bagi
orang-orang Jepang. Para anggota Heiho mendapat latihan kemiliteran. Untuk itu,
pemerin-tah Jepang menugaskan seksi khusus dari bagian intelejen untuk melatih
para anggota Heiho. Latihan dipimpin oleh Letnan Yana-gawa dengan tujuan agar
para pemuda Indonesia dapat melak-sanakan tugas intelejen.
2) Pembela
Tanah Air (PETA) dibentuk pada tanggal 3 Oktober 1943. Menjelang berakhirnya
latihan kemiliteran angkatan ke 2, keluarlah surat perintah untuk membentuk
PETA. Namun, Letjen Kamakici Harada memutuskan agar pembentukkan PETA bukan
inisiatif pemerintah Jepang, melainkan inisiatif bangsa
Indonesia. Untuk itu, dicarilah seorang putera Indonesia yang berjiwa
nasionalis untuk memimpin PETA. Akhirnya, pemerintah Balatentara Jepang meminta
Gatot Mangunpraja (seorang nasionalis yang bersimpati terhadap Jepang) untuk
menulis permohonan pembentukkan tentara PETA. Surat permohonan telah dikirim
pada tanggal 7 September 1943 dan permohonan itu dikabulkan dengan dikeluarkan
peraturan yang disebut Osamu Seirei No. 44, tanggal 3 Oktober 1943.
Pembentukkan PETA, ternyata menarik perhatian para pemuda Indonesia, terutama
yang telah mendapat pendidikan sekolah menengah dan para anggota Seinendan.
Keanggotaan PETA dibedakan dalam beberapa pangkat yang berbeda (sebenarnya
bukan pangkat, tetapi nama jabatan). Ada lima macam pangkat, yaitu: (1)
Daidanco (Komandan Batalyon), (2) Cudanco (Komandan Kompi), (3) Shudanco
(Komandan Peleton), (4) Budanco (Komanda Regu), dan (5) Giyuhei (Prajurit
Sukarela).
Daidanco
(Komandan Batalyon) dipilih dari tokoh-tokoh masyarakat yang terkemuka seperti
pegawai pemerintah, pemimpin agama, pamong praja, para politikus, penegak
hukum, dan sebagainya. Cudanco (Komandan Kompi) dipilih dari mereka yang
bekerja, tetapi belum memiliki jabatan yang tinggi seperti para guru, juru
tulis, dan sebagainya. Shudanco (Komandan Peleton) biasanya dipilih dari para
pelajar sekolah lanjutan pertama dan atas. Budanco (Komanda Regu) dan Giyuhei
(Prajurit Sukarela) dipilih dari para pelajar sekolah dasar. Para pemuda yang
menjadi anggota PETA dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu; (1) mereka yang
menjadi anggota PETA dengan semangat yang tinggi, (2) mereka yang menjadi
anggota PETA karena dipengaruhi orang lain, dan (3) mereka yang menjadi anggota
PETA dengan perasaan acuh tak acuh. Di antara mereka ada yang beranggapan bahwa
kemenangan Jepang dalam Perang Pasifik akan membawa perubahan hidup bangsa
Indonesia, yaitu sebagai bangsa yang merdeka. Di samping itu, ada yang percaya
pada ramalan Joyoboyo bahwa Jepang akan meninggalkan Indonesia dan Indonesia
akan menjadi negara yang merdeka. Untuk itu, Indonesia memerlukan tentara untuk
mengamankan wilayahnya. Para anggota PETA mendapat pendidikan militer di Bogor
pada lembaga Jawa Boei Giyugun Kanbu Renseitai (Korps Latihan Pemimpin Tentara
Sukarela Pembela Tanah Air di Jawa). Nama lembaga itu kemudian berubah menjadi
Jawa Boei Giyugun Kanbu Kyoikutai (Korps Pendidikan Pemimpin Tentara Sukarela
Pembela Tanah Air di Jawa). Setelah mendapat pendi-dikan, mereka ditempatkan
pada daidan-daidan yang tersebar di Jawa, Madura, dan Bali. Dalam
perkembangannya, beberapa anggota PETA mulai kecewa terhadap pemerintah
Balatentara Jepang. Kekecewaan itu berujung pada meletusnya pemberontakkan.
Pemberontakkan PETA terbesar terjadi di Blitar pada tanggal 14 Februari 1945
yang djipimpin oleh Supriyadi. Pemberontakkan itu dipicu karena kekejaman
Jepang dalam memperlakukan para pemuda yang dijadikan tenaga romusha.
Adapun
organiasi semi militer yang dibentuk Jepang antara lain;
1) Gerakan
3A (Jepang Pemimpin Asia, Jepang Cahaya Asia, dan Jepang Pelindung Asia)
merupakan organisasi sosial yang bertujuan untuk mewadahi bangsa Indonesia agar
lebih mudah untuk mengaturnya, terutama untuk mencapai tujuan Jepang. Gerakan
3A yang dipimpin oleh Mr. Syamsuddin, bertujuan:
a) Menghimpun
bangsa indonesia untuk mengabdi kepada kepentingan Jepang.
b) Mempropagandakan
kemenangan Jepang.
c) Menanamkan
anti Barat, terutama Belanda, Inggris, dan USA.
2) Pusat Tenaga Rakyat (Putera). Putera dibentuk
untuk menggantikan Gerakan 3 A. Organisasi ini dibentuk dengan tujuan untuk
meningkatkan semangat bangsa Indonesia dalam membantu pemerintah Jepang dalam
perang melawan Sekutu. Putera didirikan pada tanggal 1 Maret 1943 dipimpin oleh
Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Ki Hajar Dewantoro, dan Kyai Haji Mansyur.
Mengapa Jepang memilih tokoh-tokoh yang terkenal dan berpengaruh untuk memimpin
Putera? Namun, para tokoh pergerakan nasional itu ingin menggunakan Putera
sebagai alat perjuangan. Maksud tersebut diketahui oleh Jepang sehingga
organisasi itu dibubarkan pada tahun 1944. Dengan demikian, maksud pembentukkan
Putera tidak dapat mencapai hasil yang diinginkan.
3) Jawa
Hokokai (Kebaktian Rakyat Jawa). Organisasi ini dibentuk pada tahun 1944,
setelah kedudukan pasukan Jepang semakin terdesak. Tujuannya adalah untuk
menggerakan seluruh rakyat Indonesia agar berbakti kepada Jepang. Sebagai tanda
bahwa rakyat benar-benar berbakti, maka rakyat harus rela berkurban, baik harta
benda maupun jiwa dan raga untuk kepentingan perang Jepang. Rakyat Indonesia
harus menyerah-kan emas, intan, dan segala harta benda (terutama beras) untuk
kepentingan perang.
Akibatnya,
kemiskinan merajalela di mana-mana rakyat hanya berpakaian karung goni, rakyat
banyak yang mati karena kelaparan. Rakyat dididik/dilatih kemiliteran untuk
memperkuat pertahanan Indonesia apabila diserang oleh Sekutu. Rakyat dipaksa
untuk melaksanakan kerja paksa untuk membangun barak-barak militer. Rakyat
dipaksa untuk menjadi romusha.
d.
Bidang
Sosial
Salah satu kebijakan
yang cukup penting dalam bidang sosial adalah pembagian kelas masyarakat
seperti pada zaman Belanda. Masyarakat hanya dibedakan menjadi ‘saudara tua’
(Jepang) dan ‘saudara muda’ (Indonesia). Sedangkan penduduk Timur asing,
terutama Cina adalah golongan masyarakat yang sangat dicurigai karena di negeri
leluhurnya bangsa Cina telah mempersulit bangsa Jepang dalam mewujudkan
cita-citanya. Hal ini sesuai dengan propaganda Jepang bahwa ‘Asia untuk bangsa
Asia’. Namun dalam kenyataannya, Indonesia bukan untuk bangsa Asia, melainkan
untuk bangsa Jepang. Untuk mencapai tujuannya, Jepang mengeluarkan beberapa
kebijakan di bidang sosial, seperti:
1) Pembentukkan
Rukun Tetangga (RT). Untuk mempermudah pengawasan dan pengerahan penduduk,
pemerintah Jepang membentuk Tanarigumi (RT). Pada waktu itu, Jepang membutuhkan
tenaga yang sangat besar jumlahnya untuk membuat benteng-benteng pertahanan,
lapangan pesawat terbang darurat, jalan, dan jembatan. Pengerahan masyarakat
sangat terasa dengan adanya Kinrohoishi (kerja bakti yang menyerupai dengan
kerja paksa). Oleh karena itu, pembentukkan RT dipandang sangat efektif untuk
mengerahkan dan mengawasi aktivitas masyarakat.
2) Romusha
adalah pengerahan tenaga kerja secara paksa untuk membantu tugas-tugas yang
harus dilaksanakan oleh Jepang. Pada awalnya, romusha dilaksanakan dengan
sukarela, tetapi lama kelamaan dilaksanakan secara paksa. Bahkan, setiap desa
diwajibkan untuk menyediakan tenaga dalam jumlah tertentu. Hal itu dapat
dimaklumi karena daerah peperangan Jepang semakin luas. Tenaga romusha dikirim
ke beberapa daerah di Indonesia, bahkan ada yang dikirim ke Malaysia, Myanmar,
Serawak, Thailand, dan Vietnam. Para tenaga romusha diperlakukan secara kasar
oleh Balatentara Jepang. Mereka dipaksa untuk bekerja berat tanpa mendapatkan
makanan, minuman, dan jaminan kesehatan yang layak. Kekejaman Jepang terhadap
tenaga romusha menyebabkan para pemuda berusaha menghindar agar tidak dijadikan
tenaga romusha. Akhirnya, Jepang mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan
tenaga kasar.
3) Pendidikan.
Pada zaman Jepang, pendidikan mengalami peru-bahan. Sekolah Dasar (Gokumin
Gakko) diperuntukkan untuk semua warga masyarakat tanpa membedakan status sosialnya.
Pendidikan ini ditempuh selama enam tahun. Sekolah menengah dibedakan menjadi
dua, yaitu: Shoto Chu Gakko (SMP) dan Chu Gakko (SMA). Di samping itu, ada
Sekolah Pertukangan (Kogyo Gakko), Sekolah Teknik Menengah (Kogyo Sermon
Gakko), dan Sekolah Guru yang dibedakan menjadi tiga tingkatan. Sekolah Guru
dua tahun (Syoto Sihan Gakko), Sekolah Guru empat tahun (Guto Sihan Gakko), dan
Sekolah Guru dua tahun (Koto Sihan Gakko). Seperti pada zaman Belanda, Jepang
tidak menyelenggarakan jenjang pendidikan universitas. Yang ada hanya Sekolah
Tinggi Kedokteran (Ika Dai Gakko) di Jakarta, Sekolah Tinggi Teknik (Kagyo Dai
Gakko) di Bandung. Kedua Sekolah Tinggi itu meru-pakan kelanjutan pada zaman
Belanda. Untuk menyiapkan kader pamong praja diselenggarakan Sekolah Tinggi
Pamongpraja (Kenkoku Gakuin) di Jakarta.
4) Penggunaan
Bahasa Indonesia. Menurut Prof. Dr. A. Teeuw (ahli Bahasa Indonesia
berkebangsaan Belanda) bahwa pendu-dukan Jepang merupakan masa bersejarah bagi
Bahasa Indonesia. Tahun 1942, pemerintah pendudukan Jepang melarang penggunaan
Bahasa Belanda dan digantikan dengan Bahasa Indonesia. Bahkan, pada tahun 1943
semua tulisan yang berbahasa Belanda dihapuskan diganti dengan tulisan
berbahasa Indonesia. Bahasa Indonesia tidak hanya sebagai bahasa pergaulan,
tetapi telah menjadi bahasa resmi pada instansi pemerintah dan lembaga
pendidikan. Sejak saat itu, banyak karya sastra telah ditulis dalam Bahasa
Indonesia, seperti karya Armin Pane yang berjudul Kami Perempuan (1943),
Djinak-djinak Merpati, Hantu Perempuan (1944), Barang Tidak Berharga (1945),
dan sebagai-nya. Pengarang lain seperti Abu Hanifah yang lebih dikenal dengan
nama samaran El Hakim dengan karyanya berjudul Taufan di atas Angin, Dewi Reni,
dan Insan Kamil. Selain itu, penyair terkenal pada masa pendudukan Jepang,
Chairil Anwar yang mendapat gelar tokoh Angkatan ’45 dengan karyanya: Aku, Kerawang
Bekasi, dan sebagainya.
Dengan
demikian, pemerintah pendudukan Jepang telah mem-berikan kebebasan kepada
bangsa Indonesia untuk mengguna-kan dan mengembangkan Bahasa Indonesia sebagai
bahasa pengantar, bahasa komunikasi, bahasa resmi, bahasa penulisan, dan
sebagainya. Bahasa Indonesia pun berkembang ke seluruh pelosok Tanah Air.
Referensi:
http://eprints.dinus.ac.id/14415/1/[Materi]_pendudukan_jepang_di_indonesia.pdf
6. CITA-CITA EKONOMI MERDEKA
Pembangunan
ekonomi harus diartikan sebagai perkembangan ekonomi rakyat dengan segala aspek
kehidupan mereka (ekonomi, politik, harga diri, kepercayaan diri, kreativitas,
solidaritas antar sesama, kemerdekaan yang berfungsi sosial, dll). Oleh karena
itu negara yang masih tergolong negara berkembang pada umumnya termasuk
Indonesia masih mengandung struktur sosial yang tidak seimbang atau pincang,
pengembangan ekonomi rakyat harus melalui cara-cara atau jalan yang fundamental
dan mengakar dalam struktur sosial dan penguasaan aset ekonomi.Pemikiran
pembangunan ini bertujuan transformasi ekonomi bersamaan dengan transformasi
sosial dalam arti pro-rakyat. Sumber-sumber ekonomi akan ditujukan sebagian
besar untuk keperluan rakyat banyak.
Hal
ini sesuai dengan pasal 33 UUD 1945
yang dimana tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua,
untuk semua dibawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat.
Kemakmuran masyarakat yang diutamakan bukan kemakmuran individual atau
personal. Sebab itu ekonomi disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas
usaha kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu adalah koperasi.
Rumusan nasionalisme ekonomi untuk Indonesia seperti yang diutarakan diatas
menghendaki secara mutlak adanya suatu restrukturisasi ekonomi Indonesia dari
struktur ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi bangsa merdeka dengan
mayoritas bangsa sebagai pelaku dan tulang punggungnya.
Hal
ini senada dengan apa yang dikemukan oleh Bung Hatta sebagai perumus Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, “Pasal 33 UUD 1945 itu adalah kebulatan
pendapat yang hidup dalam perjuangan kemerdekaan pada zaman Hindia Belanda
dahulu. Apabila diperhatikan struktur perekonomian dimasa itu, maka terdapatlah
tiga golongan ekonomi yang tersusun bertingkat. Golongan atas ialah
perekonomian kaum Kulit Putih, terutama bangsa Belanda. Produksi yang
berhubungan dengan dunia luaran hampir rata-rata ditangan mereka, yaitu
produksi perkebunan, produksi industri, jalan perhubungan di laut, sebagian di
darat dan udara. Lapis ekonomi kedua, yang menjadi perantara dan hubungan
dengan masyarakat Indonesia berada kira-kira 90% ditangan orang Tionghoa dan
orang Asia lainnya.
Orang
Indonesia yang dapat dimasukkan ke dalam lapis kedua tersebut paling banyak
sekitar 10%. Itupun menduduki tingkat sebelah bawah. Mereka sanggup masuk ke
dalam lapis kedua itu karena kegiatannya bekerja dibantu oleh modal yang
dimilikinya. Lapis ketiga adalah perekonomian segala kecil : pertanian kecil,
pertukangan kecil, perdagangan kecil, dll, itulah daerah ekonomi bangsa
Indonesia. Pun pekerja segala kecil, kuli, buruh kecil, dan pegawai kecil
diambil dari masyarakat Indonesia ini. Dalam perekonomian yang segala kecil itu
tidak mungkin orangorang dengan tenaga sendiri sanggup maju keatas. Kecuali
beberapa ratus orang Indonesia yang memiliki modal usaha sedikit yang sanggup
menempatkan dirinya dalam golongan dagang menengah yang hampir rata-rata diisi
oleh orang Tionghoa dan orang-orang Asia lainnya.
Dalam
keadaan ekonomi kolonial semacam itulah dimana pergerakan kemerdekaan
mencita-citakan Indonesia merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur di
kemudian hari, hiduplah keyakinan, bahwa bangsa Indonesia dapat mengangkat
dirinya keluar dari lumpur, tekanan dan isapan, apabila ekonomi rakyat disusun
sebagai usaha bersama berdasarakan koperasi”—Hatta, 1970 (Sritua Arif ,
2002:120) Apa yang disampaikan oleh Bung Hatta adalah proses atau cara
restrukturisasi ekonomi yang bertujuan mengubah dialektik ekonomi zaman
Kolonial Belanda, yang pada jalannya adalah selain dalam pengorganisasian
ekonomi rakyat juga dilakukan dengan upaya yang sistematis untuk menciptakan
keseimbangan dalam penguasaan sumber-sumber ekonomi Indonesia, terkhusus
mengenai perimbangan kekuatan antara golongan Cina dengan golongan pribumi
Indonesia yang perlu diperbaiki ekonomi.
Program Ekonomi Kerakyatan :
1. Melaksanakan
Etika Produksi Baru Adalah dimana struktur produksi nasional dimana komposisi
produksi nasional berbeda dari yang sekarang, bahwa produksi-produksi terbesar
adalah barang-barang pokok kebutuhan rakyat, dan produksi barangbarang tersebut
haruslah mendominasi pertumbuhan produksi nasional. Bahwasanya hasil produksi
melalui padat karya yang membutuhkan tenaga kerja dengan upah yang layak secara
kemanusiaan, artinya upah yang layak secara kemanusiaan adalah upah yang cukup
untuk memenuhi kebutuhan pokok dan ada sisa disimpan.
2. Melaksanakan
Demokrasi Ekonomi. Demokrasi ekonomi yang dimaksud adalah sesuai dengan pasal
33 UUD 1945, sistem tersebut dapat diartikan sebagai sistem kapitalisme
kerakyatan melalui koperasi dengan peranan negara di bidang-bidang yang
menyangkut hajat hidup orang banyak. Sekalipun negara berperan besar, tetapi
proses ekonomi sebagaian besar diselenggarakan oleh rakyat atas dasar setiap
usaha mempunyai fungsi sosial yang tercermin dalam distribusi yang adil dari
hasil usaha dan juga tercermin dalam organisasi unit-unit usaha sedang dan
besar berbentuk koperasi. Unit-unit kecil dibiarkan untuk dimiliki oleh
individu atas dasar bentuk perorangan. Dan sistem ini adalah cara atau konsep
untuk menghindari dan menolak model proses ekonomi yang sentralistik
perorangan, dimana kekuasaan ekonomi dipegang segelintir orang dan sekelompok
orang.
3. Strategi
Industrialisasi Artinya bahwa adanya kawasan-kawasan industri pada tingkat
daerah di Indonesia. Untuk barang-barang konsumsi massal atau pokok dalam
kategori industri kecil dan menegah menyebar diseluruh daerah, sehingga setiap
daerah mempunyai industri-industri barang konsumsi sendiri untuk memenuhi
kebutuhan daerah berdasarkan ketersediaan barang baku industri. Dengan langkah
ini, produksi barang industri untuk keperluan rakyat dilakukan oleh orang
banyak sebagai produsen, sehingga di tiap daerah dapat terlaksana pengembangan
daerah dan demokrasi ekonomi secara bersamaan.
4. Pembangunan
Koperasi. Koperasi dalam hal ini, harusnya dapat menjadi tulang punggung sistem
ekonomi dalam sektor swasta, sehingga tidak lagi mempersoalkan skala kecil dan
menengah, tetapi juga sudah mengukur kekuatan waktu untuk jangka menengah dan
panjang. Model usaha koperasi diusulkan Bung Hatta sebagai bentuk ekonomi
rakyat hal ini berdasarkan pengamatan Bung Hatta mengenai struktur sosial dan
struktur ekonomi di Indonesia.
5. Program
Pendidikan Hal ini juga merupakan bagian penting untuk tetap mewariskan
pengetahuan dan nilai-nilai filosofis yang terkadung dalam ekonomi kerakyatan
bagi generasi muda untuk mencetak kader-kader bangsa yang ulet dan cerdas dalam
menghadapi tantangan bangsa di kemudian hari. (Sritua Arif, 2002 : 197
Ekonomi
kerakyatan ini juga sesuai dengan salah satu pilar Trisakti yang dikemukan oleh
Bung Karno yakni “Berdikari di bidang
Ekonomi”. Bahwa Indonesia yang merdeka berdaulat atas sumber daya alamnya,
dan berdaulat atas ekonominya bukan berdaulat kepada pihak asing yang pada
akhirnya menciptakan penjajahan baru pada bangsa Indonesia. Hal ini juga sesuai
dengan apa yang disampaikan oleh Bung Karno terkait konsep perombakan ekonomi
Indonesia dari ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional rakyat :
“Banyak
diantara kaum nasionalis Indonesia yang berangan-angan jempol sekali jikalau
negara kita bisa, seperti negeri Jepang, atau negeri Amerika atau negeri
Inggris ! kaum nasionalis yang demikian itu adalah kaum nasionalis yang
burgerlijk, yaitu kaum nasionalis borjuis. Mereka adalah Burgelijk
Revolutionair dan tidak Social
Revolutionair.
Nasionalisme
kita tidak boleh nasionalisme yang demikian itu. Nasionalisme kita haruslah
nasionalisme yang mencari selamatnya perikemanusiaan. Nasionalisme kita
haruslah lahir daripada menselijkheid.
Nasionalisme
kita oleh karenanya, haruslah nasionalisme yang dengan perkataan baru kami
sebutkan : Sosio Nasionalisme dan demokrasi yang harus kita cita-citakan
haruslah juga demokrasi yang kami sebutkan :Sosio Demokrasi.
Apakah
sosio - nasionalisme dan sosio - demokrasi itu ? Sosio – nasionalisme adalah
dus : nasionalisme-masyarakat dan sosio – demokrasi adalah demokrasi
masyarakat. Tetapi apakah nasionalisme-masyarakat dan demokrasi masyarakat ?
Memang
maksudnya sosio – nasionalisme ialah memperbaiki keadaan keadaan di dalam
masyarakat itu sehingga keadaan yang kini pincang itu menjadi keadaan yang
sempurna, tidak ada kaum tertindas, tidak ada kaum yang cilaka, tidak ada kaum
yang papa sengsara. Jadi sosio – nasionalisme adalah nasionalisme yang
bermaksud mencari keberesan politik dan keberesan ekonomi, keberesan negeri DAN
keberesan rezeki.
Dan
demokrasi masyarakat ? demokrasi masyarakat, sosio – demokrasi, adalah timbul
karena sosio – nasionalisme. Sosio – demokrasi adalah pula demokrasi yang
berdiri dengan dua-dua kakinya di dalam masyarakat. Sosio – demokrasi tidaklah
ingin mengabdi suatu gundukan kecil saja, tetapi kepentingan masyarakat. Sosio
– demokrasi adalah demokrasi politik DAN demokrasi ekonomi”---Soekarno, 1932 (Sritua
Arif, 2002 : 200).
Bahwa
Bung Karno berpendapat kemerdekaan bukan untuk kepentingan kemerdekaan itu
sendiri, tetapi kemerdekaan yang adalah merupakan syarat fundamental untuk
melalukan koreksi besar dalam tatanan sosial dan tatanan hubungan ekonomi di
dalam masyarakat.
Referensi
:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/44705/4/Chapter%20II.pdf
7. EKONOMI INDONESIA SETIAP PERIODE
ORDE LAMA, ORDE BARU, DAN REFORMASI
A.
Periode
Ode Lama (Periode 1945-1966)
Masa Pasca Kemerdekaan
(1945-1950) Keadaan ekonomi keuangan pada masa awal kemerdekaan amat buruk,
antara lain disebabkan :
-
Inflasi yang sangat tinggi, disebabkan
karena beredarnya lebih dari satu mata uang secara tidak terkendali. Pada waktu
itu, untuk sementara waktu pemerintah RI menyatakan tiga mata uang yang berlaku
di wilayah RI, yaitu mata uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda,
dan mata uang pendudukan Jepang. Kemudian pada tanggal 6 Maret 1946, Panglima
AFNEI (Allied Forces for Netherlands East
Indies/pasukan sekutu) mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah-daerah
yang dikuasai sekutu. Pada bulan Oktober 1946, pemerintah RI juga mengeluarkan
uang kertas baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai pengganti uang
Jepang. Berdasarkan teori moneter, banyaknya jumlah uang yang beredar mempengaruhi
kenaikan tingkat harga.
- Adanya blokade ekonomi oleh Belanda
sejak bulan November 1945 untuk menutup pintu perdagangan luar negeri RI.
-
Kas negara kosong.
-
Eksploitasi besar-besaran di masa
penjajahan.
Usaha-usaha
yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi, antara lain :
- Program Pinjaman Nasional dilaksanakan
oleh menteri keuangan Ir. Surachman dengan persetujuan BP-KNIP, dilakukan pada
bulan Juli 1946. Upaya menembus blokade dengan diplomasi beras ke India,
mangadakan kontak dengan perusahaan swasta Amerika, dan menembus blokade
Belanda di Sumatera dengan tujuan ke Singapura dan Malaysia.
-
Konferensi Ekonomi Februari 1946 dengan
tujuan untuk memperoleh kesepakatan yang bulat dalam menanggulangi
masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu : masalah produksi dan distribusi
makanan, masalah sandang, serta status dan administrasi perkebunan-perkebunan.
-
Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947.
- Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan
Perang (Rera) 1948. yaitu dengan mengalihkan tenaga bekas angkatan perang ke
bidang-bidang produktif.
- Kasimo Plan yang intinya mengenai usaha
swasembada pangan dengan beberapa petunjuk pelaksanaan yang praktis. Dengan
swasembada pangan, diharapkan perekonomian akan membaik.
Masa Demokrasi Liberal (1950-1957)
Masa
ini disebut masa liberal, karena dalam politik maupun sistem ekonominya
menggunakan prinsip-prinsip liberal. Perekonomian diserahkan pada pasar sesuai
teoriteori mazhab klasik yang menyatakan laissez
faire laissez passer. Padahal pengusaha pribumi masih lemah dan belum bisa
bersaing dengan pengusaha nonpribumi, terutama pengusaha Cina. Pada akhirnya
sistem ini hanya memperburuk kondisi perekonomian Indonesia yang baru merdeka.
Usaha-usaha
yang dilakukan untuk mengatasi masalah ekonomi, antara lain :
a) Gunting
Syarifuddin, yaitu pemotongan nilai uang (sanering)
20 Maret 1950, untuk mengurangi jumlah uang yang beredar agar tingkat harga
turun.
b) Program
Benteng (Kabinet Natsir), yaitu upaya menumbuhkan wiraswastawan pribumi dan
mendorong importir nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan impor asing
dengan membatasi impor barang tertentu dan memberikan lisensi impornya hanya
pada importir pribumi serta memberikan kredit pada perusahaan-perusahaan
pribumi agar nantinya dapat berpartisipasi dalam perkembangan ekonomi nasional.
Namun usaha ini gagal, karena sifat pengusaha pribumi yang cenderung konsumtif
dan tak bisa bersaing dengan pengusaha non-pribumi.
c) Nasionalisasi
De
Javasche Bank menjadi Bank
Indonesia pada 15 Desember 1951
lewat UU no.24 th 1951 dengan fungsi
sebagai bank sentral dan bank sirkulasi. Sistem ekonomi Ali-Baba (kabinet Ali
Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mr Iskak Cokrohadisuryo, yaitu penggalangan
kerjasama antara pengusaha cina dan pengusaha pribumi. Pengusaha nonpribumi
diwajibkan memberikan latihan-latihan pada pengusaha pribumi, dan pemerintah
menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional. Program ini
tidak berjalan dengan baik, karena pengusaha pribumi kurang berpengalaman,
sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah.
d) Pembatalan
sepihak atas hasil-hasil KMB, termasuk pembubaran Uni Indonesia-Belanda.
Akibatnya banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya sedangkan
pengusaha-pengusaha pribumi belum bisa mengambil alih perusahaan-perusahaan
tersebut. Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1967) Sebagai akibat dari dekrit
presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia menjalankan sistem demokrasi terpimpin dan
struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem etatisme (segala-galanya diatur
oleh pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan akan membawa pada kemakmuran
bersama dan persamaan dalam sosial, politik, dan ekonomi (Mazhab Sosialisme).
Akan
tetapi, kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah di masa ini belum
mampu memperbaiki keadaan ekonomi Indonesia, antara lain:
a. Devaluasi
yang diumumkan pada 25 Agustus 1959 menurunkan nilai uang sebagai berikut : Uang
kertas pecahan Rp 500 menjadi Rp 50, uang kertas pecahan Rp 1000 menjadi Rp
100, dan semua simpanan di bank yang melebihi 25.000 dibekukan.
b. Pembentukan
Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia
dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi
perekonomian Indonesia. Bahkan pada 1961-1962 harga barang-barang naik 400%.
c. Devaluasi
yang dilakukan pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp 1000 menjadi Rp
1. Sehingga uang rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat uang rupiah
lama, tapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih
tinggi. Maka tindakan pemerintah untuk menekan angka inflasi ini malah
meningkatkan angka inflasi.
Kegagalan-kegagalan
dalam berbagai tindakan moneter itu diperparah karena pemerintah tidak
menghemat pengeluaran-pengeluarannya. Pada masa ini banyak proyek-proyek
mercusuar yang dilaksanakan pemerintah, dan juga sebagai akibat politik
konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara Barat. Sekali lagi, ini juga
salahsatu konsekuensi dari pilihan menggunakan sistem demokrasi terpimpin yang
bisa diartikan bahwa Indonesia berkiblat ke Timur (sosialis) baik dalam
politik, ekonomi, maupun bidang-bidang lain.
B.
Periode
Orde Baru (Periode Maret 1966 - Mei 1998)
Orde baru memiliki
perhatian kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan
ekonomi dan sosial di tanah air. Orde baru menjalin kerjasama dengan pihak
barat dan menjauhi pengaruh ideologi komunis. Sebelum melakukan pembangunan
Repelita, dilakukan pemulihan stabilitas ekonomi, sosial, dan politik serta
rehabilitasi ekonomi di dalam negeri. Sasaran kebijakan terutama untuk menekan
kembali tingkat inflasi, mengurangi defisit keuangan pemerintah, dan
menghidupkan kembali kegiatan produksi, termasuk ekspor yang sempat mengalami
stagnasi pada Orde Lama. Penyusunan rencana Pelita secara bertahap dengan
target-target yang jelas sangat dihargai oleh negaranegara Barat.
Tujuan jangka panjang
dari pembangunan ekonomi pada masa Orde Baru: meningkatkan kesejahteraan
masyarakat melalui suatu proses industrialisasi dalamskala besar, yang pada
saat itu dianggap sebagai satu-satunya cara yang paling tepat dan efektif untuk
menanggulangi masalah-masalah ekonomi, seperti kesempatan kerja dan defisit
neraca pembayaran.
Terjadi perubahan
struktural dalam perekonomian Indonesia selama masa Orde Baru jika dilihat dari
perubahan pangsa PDB (Produk Domestik Bruto), terutama dari sektor industri.
Kontribusi sektor industri sekitar 8% (1960) menjadi 12% (1983). Hal ini
menunjukkan terjadinya proses industrialisasi atau transformasi ekonomi dari
negara agraris menuju semiindustri. Proses pembangunan dan perubahan ekonomi
semakin cepat pada paruh dekade 80-an, di mana pemerintah mengeluarkan berbagai
deregulasi di sektor moneter maupun riil dengan tujuan utama meningkatkan
ekspor nonmigas dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi serta berkelanjutan. Deregulasi
menyebabkan terjadinya pergeseran dari semula tersentralisasi menjadi
desentralisasi dan peranan sektor swasta semakin besar. Pada level meso
(tengah) dan mikro, pembangunan tidak terlalu berhasil : jumlah kemiskinan
tinggi, kesenjangan ekonomi meningkat di akhir 90-an. Secara umum dalam Orde
Baru terjadi perubahan orientasi kebijakan ekonomi yang semula bersifat
tertutup di Orde Lama menjadi terbuka pada Orde Baru.
Perkembangan ekonomi
masa Orde Baru lebih baik dari Orde Lama disebabkan oleh beberapa faktor:
1. Kemauan
Politik yang kuat dari pemerintah untuk melakukan pembangunan atau melakukan
perubahan kondisi ekonomi.
2. Stabilitas
politik dan ekonomi yang lebih baik daripada masa Orde Lama. Pemerintah Orde
Baru berhasil menekan inflasi. Mereka juga berhasil menyatukan bangsa dan
kelompok masyarakat serta meyakinkan mereka bahwa pembangunan ekonomi dan
sosial adalah jalan satu-satunya agar kesejahteraan masyarakat di Indonesia
dapat meningkat.
3. Sumber
daya manusia yang lebih baik. SDM di masa ORBA memiliki kemampuan untuk
menyusun program dan strategi pembangunan dengan kebijakan-kebijakan yang
terkait serta mampu mengatur ekonomi makro secara baik.
4. Sistem
politik dan ekonomi terbuka yang berorientasi ke Barat. Hal ini sangat membantu
khususnya dalam mendapatkan pinjaman luar negeri, PMA dan transfer teknologi
serta ilmu pengetahuan.
5. Kondisi
ekonomi dan politik dunia yang lebih baik. Selain terjadi oil boom (tingkat
produksi minyak dan harganya yang meningkat), juga kondisi ekonomi dan politik
dunia pada era ORBA khususnya setelah perang dingin berakhir, jauh lebih baik
daripada semasa ORLA.
Pemerintahan
Transisi, ciri-cirinya :
Diawali
dengan melemahnya nilai tukar baht Thailand terhadap USD pada Mei 1997,
sehingga para investor mengambil keputusan jual baht untuk beli USD. Melemahnya
baht merambah sampai ke mata uang Asia lainnya (Ringgit Malaysia hingga
Rupiah).
Hal
ini menyebabkan terjadinya krisis keuangan di Asia. Nilai tukar Rupiah terus
melemah terhadap USD, pemerintah melakukan intervensi dengan memperluas rentang
intervensi. Namun hal itu tidak banyak membantu pemulihan nilai tukar rupiah
thd USD. Pada Oktober 1997, pemerintah memutuskan meminta bantuan keuangan pada
IMF.
Paket
bantuan I sebesar USD 40 Milyar diturunkan pada akhir Okt 1997. Bantuan
tersebut diikuti dengan persyaratan penutupan atau pencabutan izin usaha 16
bank swasta yang dinilai tidak sehat. Setelah paket bantuan, justru nilai tukar
Rp semakin melemah. Akhirnya pemerintah membuat kesepakatan dengan IMF dalam
bentuk Letter of Intent (LoI) pada Januari 1998. LoI berisi 50 butir kebijakan
mencakup ekonomi makro (fiskal dan moneter), restrukturisasi sektor keuangan,
dan reformasi struktural. Di bidang fiskal : penegasan penggunaan prinsip
anggaran berimbang pada APBN, usaha pengurangan pengeluaran pemerintah
(menghilangkan subsidi BBM dan listrik), membatalkan sejumlah proyek
infrastruktur yang besar, serta peningkatan pendapatan pemerintah. Setelah
gagal dengan kesepakatan pertama, dibuat lagi kesepakatan baru pada Maret 1998
dengan nama Memorandum Tambahan tentang Kebijakan Ekonomi dan Keuangan (MTKEK).
Memorandum
tambahan itu antara lain: Program stabilisasi, dengan tujuan utama menstabilkan
pasar uang dan mencegah inflasi. Restrukturisasi perbankan dengan tujuan untuk
menyehatkan perbankan nasional. Reformasi struktural dalam perekonomian.
Penyelesaian utang luar negeri swasta dengan melibatkan pemerintah. Bantuan
untuk rakyat kecil sebagai kompensasi penurunan subsidi BBM dan listrik.
Pada
periode ini masih dipimpin oleh Soeharto, namun pada akhir Mei 1998, terjadi
gerakan mahasiswa untuk menurunkannya. Soeharto kemudian digantikan oleh
Habibie yang merupakan awal terbentuknya pemerintahan transisi. Disebut dengan
transisi karena seharusnya melakukan perubahan (reformasi) terhadap apa yang
sudah dilakukan pemerintahan sebelumnya, tetapi ternyata pemerintahan yang baru
ini masih dianggap bagian dari gaya Orde Baru dan tidak ada perubahan yang
nyata dalam perekonomian.
C.
Periode
Orde Reformasi (Periode 1998-Sekarang)
-
Pemerintahan
presiden BJ.Habibie
Pemerintahan presiden
BJ.Habibie Yang mengawali masa reformasi belum melakukan manuver-manuver yang
cukup tajam dalam bidang ekonomi. Kebijakan-kebijakannya diutamakan untuk
mengendalikan stabilitas politik.
-
Kepemimpinan
Presiden Abdurrahman Wahid
Pada masa kepemimpinan
presiden Abdurrahman Wahid pun belum ada tindakan yang cukup berarti untuk
menyelamatkan negara dari keterpurukan. Padahal, ada berbagai persoalan ekonomi
yang diwariskan orde baru harus dihadapi, antara lain masalah KKN (Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme), pemulihan ekonomi, kinerja BUMN, pengendalian inflasi,
dan mempertahankan kurs rupiah. Malah presiden terlibat skandal Bruneigate yang
menjatuhkan kredibilitasnya di mata masyarakat. Akibatnya, kedudukannya digantikan
oleh presiden Megawati.
-
Masa Kepemimpinan Megawati Soekarnoputri
Masalah-masalah yang
mendesak untuk dipecahkan adalah pemulihan ekonomi dan penegakan hukum.
Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi persoalanpersoalan ekonomi
antara lain :
a) Meminta
penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan Paris Club
ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun.
b) Kebijakan
privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam periode
krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi
kekuatankekuatan politik dan mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu
berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan
ini memicu banyak kontroversi, karena BUMN yang diprivatisasi dijual ke
perusahaan asing. Di masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi
Pemberantasan Korupsi), tetapi belum ada gebrakan konkrit dalam pemberantasan
korupsi. Padahal keberadaan korupsi membuat banyak investor berpikir dua kali
untuk menanamkan modal di Indonesia, dan mengganggu jalannya pembangunan
nasional.
-
Masa
Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono
Kebijakan kontroversial
pertama presiden Yudhoyono adalah mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain
menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatar belakangi oleh naiknya harga minyak
dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke subsidi sektor pendidikan dan
kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan controversial kedua, yakni Bantuan
Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke
tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah sosial.
Kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan perkapita adalah mengandalkan
pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta
mengundang investor asing dengan janji memperbaiki iklim investasi. Salah
satunya adalah diadakannya Indonesian Infrastructure
Summit pada bulan November 2006 lalu, yang mempertemukan para investor dengan
kepala-kepala daerah. Menurut Keynes,
investasi merupakan faktor utama untuk menentukan kesempatan kerja. Mungkin ini
mendasari kebijakan pemerintah yang selalu ditujukan untuk memberi kemudahan
bagi investor, terutama investor asing, yang salahsatunya adalah revisi
undangundang ketenagakerjaan. Jika semakin banyak investasi asing di Indonesia,
diharapkan jumlah kesempatan kerja juga akan bertambah.
Referensi :
Dumairy, 2005, Perekonomian Indonesia,
Erlangga, Jakarta
http://rowland_pasaribu.staff.gunadarma.ac.id/.../sistem-perekonomian-indonesia.pdf